9.4.10

Perlunya Mereformasi Mind-Set Masyarakat Bali

PEMBERANTASAN judi di tanah Bali tampaknya tidak akan mudah dilakukan karena ia telah merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Judi dengan segala bentuknya (tajen, ceki, togel, dan lainnya) bagi masyarakat Bali masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bukan merupakan dosa besar. Hal ini jelas terlihat dari masih tak bisa terpisahkannya kegiatan perjudian semacam itu dari kehidupan masyarakat, termasuk ketika upacara dewa yadnya sedang dihelat oleh masyarakat Bali. Coba saja perhatikan dalam mempersiapkan pelaksanaan upacara acapkali masyarakat Bali mengadakan judi ceki atau tajen dengan alasan untuk sekadar menghibur atau menggali dana. Bagi mereka (para bebotoh khususnya) upacara tidak akan terasa lengkap dan kurang berarti jika tanpa disertai dengan kegiatan perjudian.

Masyarakat memberikan toleransi dan ruang yang begitu luas sehingga dia bisa berkembang dengan sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya tanpa adanya social control. Akibatnya, perjudian dinggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja, apalagi dari pelaksanaan judi telah terbukti menghasilkan dana berupa cuk yang telah mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat untuk meringankan beban pembiayaan yadnya.

Di sinilah letak sebenarnya permasalahan mengapa judi tak bisa dituntaskan oleh pihak kepolisian. Secara jelas bisa dikatakan bahwa masyarakatlah yang membuat judi tak bisa diberantas karena mereka masih menganggap kegiatan itu memberikan kontribusi yang berarti dari segi finansial kepada masyarakat.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah bagaimana mereformasi dan mentransformasi mind-set masyarakat Bali khususnya agar mampu mengalihkan pandangan dari judi yang dianggap sebagai sesuatu yang biasa menjadi sesuatu yang betul-betul tidak boleh dilakukan lagi, apalagi di tempat-tempat suci.

Dharma wacana yang sering dilakukan oleh para rohaniwan Hindu di berbagai media tampaknya belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat agar menghentikan kegiatan perjudian. Pola pikir yang selalu mempraktikkan dan mendukung kejahatan tampaknya sangat disukai oleh masyarakat dewasa ini. Apakah ini sebagai pertanda juga bahwa masyarakat Bali terkena wabah STMJ -- sembahyang taat maksiat tetap jalan. Kalau hal ini benar berarti pekerjaan besar kita adalah meluruskan keadaan masyarakat yang pola pikirnya sudah menyimpang dari ajaran dharma.

Namun, kita tidak perlu berkecil hati untuk memberantas judi. Masyarakat Bali memiliki traditional rules and values untuk mengerem segala penyimpangan dengan memberdayakan hukum adat. Hal ini sangat efektif karena selama ini sanksi adatlah yang paling ditakuti oleh masyarakat Bali. Namun yang menjadi pertanyaan, maukah lembaga-lembaga adat melakukan pelarangan terhadap segala bentuk perjudian yang terjadi di lingkungan adat? Tidakkah ini dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan mengingat judi sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar dilakukan? Namun, demi kepentingan yang lebih besar terutama mendudukkan, menegakkan kembali ajaran agama yang benar, tidak ada jalan lain kecuali memberdayakan segala upaya yang dimiliki untuk memberantas judi.

Memang kalau dipikir-pikir tindakan mencegah judi terkesan terlambat di saat ia telah berkembang dengan begitu pesat. Apalagi di dunia saat ini paham kapitalisme, hedonisme, dan pragmatisme begitu didewakan. Segala hal yang menguntungkan menjadi tujuan setiap orang tanpa mempertimbangkan halal dan haramnya. Meskipun kenyataan seperti itu melingkupi kehidupan keseharin masyarakat, tetap tegak di jalan dharma adalah keharusan bagi kita semua. Hanya dengan dharmalah keharmonisan kehidupan akan bisa terpelihara baik secara sekala dan niskala. Oleh karena itu marilah kita semua berusaha untuk menegakkan dharma itu dengan menjauhi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran dharma.

Sumber : Bali Post


Selengkapnya.....

KARMA dan TRANSMIGRASI

Pada saat penciptaan, sebagian kecil dari jiwa-jiwa yang tak terbilang banyaknya turun ke alam jasmani dan mengenakan penutup atau tubuh yang diperlukan untuk hidup di alam kausal, astral dan jasmani. Tubuh-tubuh ini memudarkan cahaya Jiwa sehingga ia melupakan rumah sejatinya dan kemuliaannya yang semula.

Jiwa-jiwa di alam PINDA telah berada di sana sejak jutaan tahun dan telah mengalami segala macam bentuk kehidupan yang sesuai dengan keinginan dan perbuatannya. Melalui rangkaian kelahiran dan kematian yang tak ada habisnya, kita meninggalkan tubuh yang satu untuk sekedar dilahirkan ke dalam tubuh yang lain. Itu dikenal sebagai Roda Delapan Puluh Empat atau lingkaran 8.400.000 jenis kehidupan ke dalam mana jiwa dapat berinkarnasi.

Para Suci dari segala zaman telah mengakui dan mengajarkan hukum transmigrasi (perubahan bentuk perwujudan) ini.

“Transmigrasi berarti perpindahan jiwa ke dalam berbagai jenis kehidupan untuk menunaikan tugas yang sesuai dengan karmanya. Jiwa berasal dari lautan kehidupan yang mahaluas dan akan pulang kembali kepadanya.”

Di India, hampir semua agama seperti Hindu, Jain, Buddha, Sikh dll. percaya bahwa orang mengalami suka dan duka sebagai akibat dari perbuatannya sendiri di masa lalu, dan di masa depan ia akan menanggung akibat dari semua perbuatannya yang dilakukan dalam hidup sekarang.

Umat Yahudi, Kristen dan Islam tidak mengenal transmigrasi jiwa maupun hukum karma. Mereka percaya bahwa Allah adalah Pencipta dan Tuhan seluruh alam semesta. Sama halnya seperti tukang tembikar membentuk dan merombak jambangan sekehendak hatinya di mana jambangan itu sendiri tidak berhak apa-apa, begitu juga, Tuhanlah yang menentukan apakah Ia akan memberikan Keselamatan kepada ciptaanNya atau tetap membuatnya bodoh. Mereka juga percaya bahwa karena Tuhan itu mahakuasa, tak seorangpun berhak atau mampu menghalangi perbuatanNya atau mengetahui apa yang Ia lakukan. Semua hal itu tidak dapat dipahami oleh manusia dan sebaiknya tidak usah kita pikirkan.

Para Suci menerangkan secara jelas perihal kebaikan dan keburukan hukum karma. Karma merupakan teori sebab dan akibat yang berlaku bagi seluruh alam semesta. Emerson, para ahli filsafat lain dan juga para profesor ilmu alam menyebutnya sebagai hukum kompensasi. “Apa yang kautabur, itu harus kau tuai”.

Kata-kata yang diucapkan oleh seseorang mempunyai pengaruh ganda. Yang pertama adalah aksi, dan yang kedua adalah reaksi. Reaksinya akan menggema di dalam dan di sekeliling si pembicara dan menimbulkan gelombang pikiran yang sama disekitarnya. Jadi, pikiran apa saja, entah baik atau buruk – yang keluar daripadanya akan menimbulkan gema yang tepat sama. Itu merupakan hukum tegas yang tidak dapat ditawar-tawar dan yang tetap berlaku bagi benda hidup maupun mati. Hukum itu tidak dapat dihapus.

Karma juga merupakan proses penyelesaian hutang piutang seseorang. Bila kita mengambil sesuatu dari orang lain, kita harus memberikannya kembali, dan dengan mengikuti patokan itu dibentuklah karma nasib; dengan demikian semua pasang surut kehidupan kita dapat dijelaskan. Suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit, memberi dan menerima, semuanya merupakan hasil perbuatan semacam itu yang harus dilunasi. Bila seseorang tidak melunasinya dalam hidup ini, ia harus melakukannya dalam kehidupan yang akan datang.

Walaupun seseorang meninggal dunia, namun pita rekaman semua perbuatannya tidak musnah. Catatan mengenai semua perbuatannya itu telah tersurat pada jiwa yang masih tetap terbungkus oleh tubuh astral dan kausal, walaupun tubuh jasmaninya telah mati. Jiwa meninggalkan tubuh saat kematian, namun hutang piutangnya tetap mengikutinya sampai lunas.

Shamas Tabriz (seorang suci Islam dari Persia) berkata:
“Kita hidup di alam semesta ini, dan dalam setiap kehidupan, kita mengenakan jubah yang berbeda. Kadang-kadang sebagai makhluk yang lain, namun kita semua merupakan bagian dari Sang Pencipta. Dengan perkataan lain, kita datang ke dunia ini dan kita pergi dari dunia ini ratusan dan ribuan kali, karena alam semesta ini merupakan loka karya dengan pintu masuk dan pintu keluar.”

Ada tiga jenis karma atau perbuatan: Sinchit, Pralabdh dan Kriyaman. Sinchit adalah karma simpanan; Pralabdh adalah karma nasib; dan Kriyaman adalah karma baru. Karma simpanan merupakan hasil perbuatan masa lalu yang belum terlunasi atau belum disuratkan. Karma nasib merupakan sebagian hasil perbuatan di masa lampau yang harus diselesaikan dalam hidup sekarang, dan untuk mana kita telah diberi tubuh manusia ini, yaitu untuk mengalami akibat dari karma baik atau buruk yang telah ditentukan oleh nasib. Kriyaman terdiri atas karma baru yang terjadi dari perbuatan kita dalam hidup sekarang. Dengan perkataan lain, sambil menjalani takdir (karma nasib), kita juga membuat karma baru yang hasilnya harus kita alami dalam hidup dan sebagian lagi sebagai Sinchit.

Apakah sesungguhnya yang diartikan dengan ‘karma masa lalu?’ Ayat-ayat Suci menerangkan bahwa Tuhan mengaruniai kita tubuh jasmani – entah sebagai manusia atau makhluk yang lebih rendah – dan kita datang ke dunia ini untuk memetik sebagian hasil karma masa lalu kita yang telah disuratkan. Sesuai dengan cara yang Ia kehendaki agar kita menunaikan tugas itu, kita akan melakukannya tepat seperti itu, karena begitulah cara yang telah disuratkan oleh nasib kita. Tak seorangpun dapat meloloskan diri dari Takdir atau Nasibnya. Hanya Tuhan sajalah yang bebas, dan Ia mengatur seluruh dunia dengan hukumNya.

Karma masa lalu kitalah yang bertanggungjawab atas kebaikan dan keburukan, suka dan duka yang kita alami dan yang menentukan kita harus lahir sebagai makhluk yang hina atau mulia. “Apa yang kau tabur, itu harus kau tuai.” Kita merasa senang sebagai akibat dari perbuatan baik yang kita lakukan, dan merasa sedih sebagai akibat dari perbuatan buruk kita sendiri, karena kita harus memetik semua hasil perbuatan, baik dengan pikiran, perkataan maupun perbuatan.

Kita tidak dapat meloloskan diri dari hasil perbuatan kita dengan jalan melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Akibat seperti itu harus ditanggung di kemudian hari. Karena itu, jelaslah sudah bahwa susah atau senang, suka atau duka apapun yang kita alami, itu semua disebabkan oleh perbuatan kita sendiri dan kita tidak dapat menyalahkan siapapun untuk itu. Bagaimana orang dapat berharap untuk memperoleh hasil yang baik dari perbuatan yang buruk? Siapapun beranggapan demikian, itu adalah suatu kekeliruan.

Mohon pengampunan Tuhan dan beranggapan bahwa kita kemudian boleh berbuat dosa lagi adalah suatu kekeliruan. Penyakit merupakan hukuman atas dosa kita. Bila dosa sudah dilakukan, itu hanya dapat ditebus dengan menerima hukuman yang setimpal. Sebab utama dari semua dosa adalah anggapan bahwa kita ini tubuh. Selama kita tidak melepaskan kesadaran bertubuh, maka kesenangan inderawi dan keinginan untuk menikmatinya tidak akan hilang dari ingatan kita.

“Seringkali orang menghadapi kesulitan, karena dalam mencari kesenangan, mereka dihadapkan pada berbagai penyakit. Keinginan akan kesenangan tidak akan lenyap tanpa penyerahan diri kepada kehendakNya. Sementara itu, ia akan tetap mengembara.”

Dhrita-rashtra (ayah dari Panca Pendawa, seorang raja yang buta sejak lahir) pernah ditanya apa yang telah ia lakukan di masa lalu sehingga ia sekarang buta. Ia menjawab bahwa ia dapat melihat sejauh seratus kehidupan yang lampau, tetapi di sana ia tidak menemukan apa-apa yang dapat menjadi penyebab kebutaannya. Kemudian Batara Krisna memberikan penglihatan rohaninya untuk menunjukkan apa yang telah ia lakukan sebelum seratus kehidupan yang terakhir. Setelah itu barulah Dhrita-rashtra melihat bahwa jauh sebelum itu, ia telah melakukan suatu perbuatan untuk mana ia sekarang harus dilahirkan buta. Apakah daya kita terhadap simpanan karma yang terpendam selama ratusan kehidupan? Roda karma senantiasa berputar dan hasil perbuatan kita akan bersemi dan harus dilunasi meskipun setelah ratusan atau ribuan kehidupan.

Kita terikat oleh karma nasib kita. Ada banyak orang baik dan mereka berbuat baik oleh sebab karma nasibnya. Yang lain menjadi jahat dan berbuat jahat oleh sebab karma nasibnya. Mereka semua tidak berdaya untuk berbuat lain. Meskipun diberi kesempatan untuk melakukan perbuatan baik, mereka mengabaikannya. Mereka merasa bahwa mereka tidak memerlukan Satguru dan Tuhan.

Karma diatur oleh Kal, yang menguasai tiga dunia, yaitu dunia jasmani, astral dan kausal. Kal telah diciptakan oleh Tuhan yang Mahakuasa; ia mengatur ketiga alam terendah itu di bawah perintahnya. Ia menerapkan keadilan tanpa pandang bulu. Sesuai dengan perintah Tuhan, semua makhluk hidup setelah kematiannya diharuskan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan baik atau buruknya dan ia mengambil tindakan sesuai dengan itu. Neraka dimaksudkan untuk orang berdosa dan surga untuk mereka yang melakukan perbuatan baik. Bila masa tinggal mereka di alam-alam itu telah habis, mereka sekali lagi harus mengitari roda perputaran hidup dan mati.

Kal mempunyai dua senjata, yaitu Waktu dan Ruang. Keduanya merupakan tiang pasak ciptaan. Ruang digunakan untuk menyebarluaskan ciptaan dan waktu selalu mendatangkan perubahan.

“Tuhan Sendirilah yang memaksa ciptaanNya untuk menjalani karma nasib yang tidak dapat dihindarkan dan tidak dapat dihapus. Apa yang telah ditakdirkan. Itu harus terjadi.”

“Kita harus bertemu dengan orang-orang tertentu; kita harus berpisah dari orang-orang tertentu. Pertemuan dan perpisahan itu juga terjadi sesuai dengan Hukum Karma. Berdasarkan itulah segala kejadian duniawi dilakukan.”

Kal memerintah seperti yang ditugaskan oleh Tuhan (Sat Purush) yang mahakuasa dan ia bukan pencipta jiwa, ia tidak dapat menciptakan maupun memusnahkan jiwa. Hanya tubuhlah yang menjadi miliknya. Ia memberikan tubuh sesuai dengan karma masing-masing dan mengambilnya kembali setelah jadwal waktunya habis. Ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap jiwa, karena jiwa adalah anak Sat Purush yang bersifat kekal.

Tidak ada satupun makhluk yang lebih rendah dari manusia yang dapat berbuat sekehendaknya. Tetapi manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak sesuai dengan karmanya. Karena itu mereka sedikit banyak dapat memanfaatkan kebebasan dalam bertindak itu.

Kelahiran sebagai manusia hanya diperoleh berkat nasib yang luar biasa baiknya. Setelah memperolehnya, kita harus mengikuti jalan rohani dan ajaran yang dikhotbahkan oleh para Suci. Hidup manusia itu langka. Itu tidak diperoleh berulang kali. Bila kita melewatkan kesempatan itu, maka kelak kemudian hari, kita akan menyesalinya dalam-dalam.

Manusia adalah ciptaan terluhur. Itu diperoleh berkat nasib yang mahabaik. Kehidupan manusia memberi kita kemampuan untuk bersatu dengan Tuhan. Guru Arjan Sahib berkata:

“Berulang kali aku lahir sebagai kutu dan serangga,
Berulang kali aku lahir sebagai gajah, ikan atau rusa,
Berulang kali aku lahir sebagai rumput dan pohon,
Sekarang kesempatan terbuka untuk bertemu dengan Tuhan,
Tubuh mulia ini telah kuperoleh setelah berabad-abad lamanya.”

Tubuh dan jiwa manusia asyik dengan dunia ini, manusia perlu menyiapkan bekal untuk kemudian hari.

“Semua akan menempuh perjalanan ke negeri asing itu;
Wahai manusia bodoh, waspadalah, karena ajal sudah dekat!”

Meskipun demikian, pertanyaan timbul bagaimana kita dapat melakukannya? Dengan menghadiri satsang dan mengikuti ajaran-Nya, kita dapat memperoleh pembebasan dari sebagian karma kita. Tetapi, belenggu karma kita atau hasil perbuatan kita adalah begitu kuat.

Karena Karma Nasibnya, sementara orang tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan seorang Satguru dalam hidup sekarang ini. Mereka tidak berminat untuk bertemu dengan seorang Satguru, walaupun Ia berada di tengah-tengah mereka. Karena sikap demikian dan karena Karma Nasib itu, mereka tetap mengembara dalam siklus kelahiran dan kematian dari berbagai jenis kehidupan.

Kita tidak berdaya untuk mengubah nasib kita. Apa yang ditakdirkan oleh Nasib harus terjadi. Kita hanya dapat bertemu dengan Satguru dan mengingat Tuhan bila kita telah ditakdirkan untuk itu. Orang yang mengikuti perintah pikiran, dikuasai oleh pemikiran duniawi dan benda-benda duniawi. Dan mereka yang mengikuti perintah Satguru, di dalam pikirannya ia sudah mempunyai kecenderungan untuk menghayati Tuhan.

“Hanya nasib yang menyebabkan kita pergi kepada seorang Satguru, menerima Dia sebagai Satguru, meyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendakNya, sehingga Ia menyatukan jiwa kita dengan Suara Suci.”

Lautan karma itu tak terduga dalamnya. Untuk menghilangkan karma cadangan adalah hampir-hampir mustahil. Tetapi bila kita bertemu dengan seorang Satguru, Ia melunasi semua hutang piutang karma kita dengan menganjurkan kita untuk melakukan perbuatan tanpa mengharapkan hasilnya. Bila kita melakukan latihan rohani seperti yang diperintahkan oleh Satguru dan menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya, kita akan dapat menjalani karma nasib dengan hati gembira dan tidak melakukan karma baru lain yang harus dijalani dalam kehidupan yang akan datang. Karma cadangan berangsur-angsur dimusnahkan dengan praktek mendengarkan Sabda. Kadang-kadang Satguru membantu untuk menanggung beban karma nasib kita sehingga yang seharusnya merupakan pukulan mematikan akan berubah menjadi tusukan jarum, dengan akibat bahwa kita akan menjalani karma tanpa banyak mengalami penderitaan dan ketakutan.

Dengan jalan demikian, semua karma kita akan terlunasi berkat karunia Satguru. Akhirnya kita akan dibebaskan dari beban karma dan memperoleh Keselamatan dengan menyeberangi lautan Kehidupan. Kita hanya dapat menjadi “hampa karma” selagi kita hidup di dunia ini dan melakukan semua perbuatan tanpa keinginan.

Perbuatan merupakan bagian dari pikiran dan tubuh. Selama pikiran tidak ditundukkan, kita sulit atau bahkan tidak mungkin untuk menjadi hampa karma. Pikiran selalu tidak tenang. Ia tidak dapat didiamkan walaupun hanya sedetik. Karena itu, tak seorangpun dapat membebaskan diri dari perbuatan lahiriah atau mental. Namun bila seseorang mempersembahkan semua perbuatannya di atas altar Satguru, maka perbuatan apapun yang ia lakukan, itu tidak akan terkena hukuman dan ia pasti akan memperoleh pembebasan dari roda transmigrasi.

Pada saat ajal tiba, Kal tidak akan datang untuk mengambil siswa Satguru. Satguru Sendirilah yang akan datang dan membawa jiwa itu bersamaNya. Kal tidak akan mendekati seorang bakta.

“Ego itu merupakan penyakit menahun
Yang masih dapat sembuh sendiri dengan mudah
Bila karunia Tuhan turun
Berkat Nama Satguru, jiwa melambung,
sehingga terbebas dari keakuan.”

SUMBER : FORUM WEB GAUL
Selengkapnya.....

8.4.10

Konversi Agama "Hindu"

Oleh : Surpi Aryadharma

Konversi agama sebagai penyakit kronis

Kasus konversi agama seperti sebuah penyakit kronis tetapi tidak banyak pihak yang menyadarinya. Bali yang dijadikan ladang misi sejak tahun 1630, mengalami panen besar sejak adanya pembabtisan bersejarah dan menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember 1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil dipanen oleh misi protestan, sementara Katolik diperkirakan mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis dan dinaungi oleh badan misi dunia.

Sejumlah sumber mengungkapkan, konversi agama di Bali terbagi atas tiga periode. Periode pertama tahun 1597- 1928, periode kedua tahun 1929-1936 berdasarkan efektifitas usaha penginjilan yang dilakukan. Kemudian periode terakhir 1937-1949 sebagai masa persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali.

Periode pertama lebih banyak merupakan periode persiapan, di mana sejumlah badan misi dunia, para zendeling (misi Kristen) maupun misionaris (misi Katolik) mempelajari dan datang ke Bali. Sejumlah pendeta datang ke Bali dengan menyamar sebagai turis seperti Dr. H.W. Medhurst dan Dr. W.R. Baron Van Hoevall. Selain itu sejumlah peneliti dikirim sebagai tahap persiapan seperti Van Der Tuuk. Ia dikirim oleh Perhimpunan Missi Utrecht (U.Z.W.) yang bekerja sama dengan Lembaga Alkitab Belanda (N.B.G.). Van Der Tuuk bekerja di Bali tahun 1870–1873, di samping menerjemahkan injil juga membuat kamus bahasa Bali.

Sejumlah ahli yang sesungguhnya merupakan misionaris ini mempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya sistem adat, dilaporkan oleh para pekerja Kristen di Bali seperti Van Hoevall, sejak tahun 1846, sudah banyak masyarakat Bali yang tidak puas dengan system adat dan agama. Ditulis Hoeval banyak orang Bali merasakan sistem kasta yang ada dalam agama Hindu Bali tidak adil dan banyaknya upacara dan kewajiban sehubungan dengan penyelenggaraan upacara dan persembahyangan menyebabkan mereka jadi miskin. Inilah yang dipandang oleh Hoeval sebagai celah masuk untuk menyebarkan kekristenan di Bali.

Orang Bali pertama yang menjadi Kristen.

Namun walau zending terus bergulir di Bali dengan dikirimnya sejumlah penginjil, upaya pada tahap awal gagal. Tiga Pekabar Injil Belanda yang dikirim, yaitu van Eck, de Vroom, van der Jogt setelah 13 tahun usaha mereka, tahun 1873 hanya berhasil membabtis satu orang Bali yakni I Goesti Wajan Karangasem dari Bali Timur, Jagaraga
Singaraja.

I Goesti Wajan Karangasem ini yang diberi nama baptis Nicedemus. Namun karena tidak kuat menanggung beban pengucilan dari keluarga dan banjarnya, ia diduga membunuh De Room tahun 1881. Sejak kejadian berdarah yang menggemparkan itu, Belanda menutup aktivitas penginjilan dan Bali tertutup untuk waktu sekitar 50 tahun. Selain itu melalui perdebatan panjang, Belanda juga menerapkan kebijakan kebudayaan dan pendidikan yang dikenal dengan Baliseering (Balinisasi) yang dimulai tahun 1920-an yang menyulitkan para penginjil mendapatkan surat ijin untuk masuk ke Bali.

Walau demikian badan misi tidak menyerah. Di tengah tertutupnya aktivitas penginjilan, penginjil pribumi Salam Watias yang berasal dari Kediri, bekerja untuk Gereja Kristen Jawi Wetan (G.K.J.W) datang ke Bali untuk menjual buku-buku Kristen. Watias menggunakan pendekatan cultural dan mendekati orang-orang Bali karena sesama “Wong Majapahit.” Ia menjual buku-buku tersebut hingga ke pelosok-pelosok desa khususnya di Bali utara.

Karena orang Bali mempunyai kesenangan membaca pelajaran-pelajaran agama, maka ribuan buku terjual. Buku yang paling digemari adalah Injil Lukas yang ditulis dalam bahasa Bali. Tidak tertutup kemungkinan para pendukung Surya Kanta yang tidak puas dengan kondisi riil adat dan agama Bali menjadi pembeli dari buku Salam Watias.

Sekitar 80 orang Bali akhirnya minta dibabtis oleh Watiyas. Namun pekerjaan yang dinilai sangat berhasil dilakukan oleh Dr. R.A. Jaffray, Ketua C.M.A., dengan mempekerjakan Penginjil Cina yang bernama Tsang Kam Fuk, yang kemudian menyebut dirinya Tsang To Hang. Tsang To Hang berhasil masuk ke Bali tahun 1931 setelah CMA berhasil mendapatkan surat ijin khusus untuk menginjil orang-orang Tionghoa di Bali. Mereka telah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan surat ijin masuk ke Bali, tetapi karena ijin itu tidak kunjung didapatkan, mereka menyiasati dengan meminta ijin untuk penginjilan terbatas pada orang-orang Tionghoa dan Belanda akhirnya mengabulkan permohonan itu.

Pan Loting.

Setelah satu setengah tahun upaya mereka di Denpasar hanya mampu membawa empat orang Tionghoa masuk Kristen, To Hang secara sadar melanggar surat ijin yang diberikan dan mulai menginjili orang-orang Bali.

Melalui seorang wanita Bali, istri seorang Tionghoa, ia berkenalan dengan beberapa orang Bali yang ingin keluar dari tradisi Hindu-Bali. Panen besar pun diperoleh dengan pembatisan yang menggemparkan Tanggal 11 November 931, Dr. Jaffray membabtis 12 orang Bali yang dipimpin oleh Pan Loting, di Sungai Yeh Poh.

Pan Loting adalah dukun sakti dan tokoh leak dari Buduk, yang oleh To Hang disebut sebagai tukang sihir. Pan Loting yang bernama asli I Made Gepek memiliki pengaruh yang luas karena ia dianggap orang sakti balian yang bisa membuat maupun menyembuhkan penyakit. Awalnya ia beradu ilmu dengan Tsang To Hang, tetapi kalah dan berikutnya debat teologis yang berakhir pada kekalahan sang tokoh leak.

Sampai To Hang diusir Belanda tahun 1933 ia telah berhasil membaptiskan sekitar 260 orang Bali. Setelah itu, Bali semakin terbuka dengan penginjilan dan puluhan badan misi terus bekerja di Bali untuk menambah pengikut dan jumlah gereja.

Dewasa ini, penginjilan bukan saja dilakukan dengan upaya propaganda, tetapi juga melalui badan-badan dan kegiatan besar yang dikemas menarik seperti Bali Gospel Festival yang digelar di GOR Ngurah Rai Denpasar. Kegiatan ini berupa penyembuhan masal dengan menggunakan doa-doa yang diisi dengan lagu-lagu pujian, ceramah dan persekutuan Kristen dari berbagai daerah di Bali.

Sejarah Kelam Kekristenan diBali

Agama Kristen menyadari adanya sejarah kelam kekristenan di Bali, di mana Kristen bukan saja lambat diterima di Pulau Dewata, tetapi dengan penolakan keras.

Ketua Sinode GKPB Bali saat ini Pdt. Drs. I Wayan Sudira Husada.MM mengatakan Kristen tengah berupaya memperbaiki sejarah kelam kekristenan di Bali, yakni kekristenan masuk dengan cara kasar dan menolak secara total sistem adat, sehingga mendapat pertentangan keras oleh orang Bali yang setia dengan adat. Dr. Jaffray dan Tsang To Hang meminta pemeluk kristen baru untuk membongkar sanggah karena dianggap pemujaan berhala yang sia-sia, tempat setan dan iblis dan melarang mengambil bagian pada kegiatan adat. Hal ini tentu saja menimbulkan ketersinggungan orang Bali yang pada akhirnya menjadi konflik berkepanjangan.

Penghancuran merajan/sanggah ini oleh Bishop Sudira merupakan kekeliruan dan kekristenan lebih bisa diterima jika dilakukan dengan cara-cara yang lebih lembut dan santun. Sehingga tidak heran di Gereja Abianbase, Mengwi, setiap sebulan sekali jemaat datang ke gereja mengenakan pakaian adat Bali, kebaktian dilakukan dengan bahasa Bali. Demikian pula dengan jemaat di gereja di Buduk dan Dalung.

Selain itu mereka juga turut melestarikan budaya Bali seperti gamelan dan tari Bali. Upaya ini sebagai jalan untuk meluruskan sejarah kelam kekristenan, di mana pada tahap awal Kristen identik dengan Eropa dan menganggap kehidupan orang Bali sarat dengan pemujaan berhala yang sia-sia, kabut gelap sehingga harus ditolak.

Faktor Utama Penyebab Konversi Agama di Bali

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sekurangnya terdapat delapan factor utama penyebab orang Bali melakukan konversi, yakni :

Pertama. Ketidakpuasan atas system adat dan agama.
Sejak dulu sebagian kecil masyarakat Bali menunjukkan ketidakpuasan terhadap sistem adat dan agama. Selain itu, kelompok - kelompok yang ada di masyarakat memperlihatkan kepekaan yang berbeda terhadap doktrin keagamaan tertentu. Kerumitan banten yang dikaitkan dengan ekspresi keimanan, aturan adat yang kaku serta tidak adanya kelonggaran bagi anggota masyarakat untuk menjalankan ajaran agama menjadi keluhan yang belum terjawab. Hal ini menimbulkan goncangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan anomi. Para penderita deprivasi ekstrim dan anomi memperlihatkan daya tanggap yang besar terhadap agama yang mengkhotbahkan pesan keselamatan.

Kedua. Krisis individu.
Manusia kerap mengalami krisis yang disebabkan oleh banyak hal seperti kondisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup, keretakan keluarga, perceraian, korban kekerasan atau perasaan berdosa karena merasa telah melakukan perbuatan tercela. Orang yang mengalami krisis cenderung mencari nilai baru, guna mendapatkan pemecahan dari persoalan yang dihadapi. Agama Kristen termasuk agama yang menawarkan pesan keselamatan yang membawa seseorang pada rasa damai sejahtera. Perpindahan agama diharapkan mampu membawa perubahan dalam hidupnya.

Ketiga. Ekonomi dan lingkungan sosial.
Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab seseorang pindah agama. Meletusnya Gunung Agung tahun 1963 diiringi dengan gelombang wabah dan kegagalan panen menimbulkan paceklik hampir di seluruh Bali. Hal itu dimanfaatkan oleh badan misi Kristen untuk memberikan bantuan seperti gandum dan alat-alat dapur maupun memberikan keahlian dengan tujuan imbalan masuk Kristen. Selain itu, banyak orang Bali karena belitan kemiskinan bersedia masuk Kristen dengan harapan mendapatkan bantuan dan terjadi peningkatan ekonomi. Kristen memiliki lembaga ekonomi yang mapan yakni Maha Bhoga Marga (MBM) yang memberikan kredit ringan bahkan bantuan Cuma Cuma untuk peningkatan ekonomi masyarakat kecil. MBM berdiri sejak 15 Januari 1963 yang pendanaannya berasal dari diakonia (dana yang terhimpun dari umat Kristen). Selain itu masih banyak lembaga sosial yang memiliki misi serupa, selain badan penyiaran seperti radio Kristen.

Keempat. Pengaruh ilmu kebatinan, Kehausan rohani dan janji keselamatan.
Ilmu kebatinan yang diajarkan Raden Atmaja Kusuma di Singaraja menjadi loncatan awal bagi kekristenan di Bali. Ajaran mistik ini sepintas mirip dengan ajaran Kristen di mana pencapaian spiritual dapat dicapai dengan pencerahan rohani, bukan dengan upacara yang besar. Umat Hindu yang mengalami kehausan rohani dulunya memang sulit mendapatkan jawaban, karena sedikitnya tokoh yang bisa memberikan pelayanan rohani.

Kelima. Keretakan keluarga dan urbanisasi.
Keluarga yang tidak harmonis mendorong terjadinya konversi. Anggota keluarga yang merasa terlempar dari ikatan keluarga dan merasa sebatang kara tanpa ada yang memperhatian cenderung akan mencari komunitas baru yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi dalam kehidupannya.

Keenam. Perkawinan dan urutan kelahiran dalam keluarga.
Perkawinan seringkali menimbulkan terjadinya konversi agama. Wanita Bali yang kawin dengan pria Kristen sebagian besar akan mengikuti agama suami karena sistem patrialistik dari masyarakat Bali. Namun tidak sedikit justru pria Hindu yang mengikuti agama calon istrinya. Selain itu, urutan kelahiran dalam keluarga sangat berpengaruh. Di mana anak laki-laki yang bukan merupakan pewaris keluarga lebih mudah untuk beralih agama karena tidak terikat tanggung jawab dalam keluarganya. Juga mereka bukan penanggung jawab utama baik dalam melakukan pengabenan bagi orang tuanya maupun mengurus sanggah dan warisan keluarga.

Ketujuh. Kegiatan penginjilan yang agresif.
Kristen memang merupakan agama missioner. Tugas penginjilan bukan hanya dilakukan oleh penginjil profesional, tetapi juga oleh seluruh gereja dan jemaat. Banyak warga yang masuk Kristen karena kegiatan penginjilan yang mempropagandakan kehidupan yang lebih baik.

Kedelapan. Lemahnya pemahaman teologi (Brahmavidya).
Masyarakat Hindu di Bali yang menjalani agama cenderung dengan berbagai upacara menyebabkan teologi tidak mendapatkan tempat yang layak dalam pelajaran agamanya. Ketidaktahuan ini tentu saja merugikan dialog antar pemeluk agama maupun dengan penginjil yang memang mapan dalam berdebat. Delapan factor utama diatas sesungguhnya berpangkal pada lemahnya pemahaman atas ajaran Hindu, sehingga para converts dengan mudah meninggalkan Hindu.

Dialog yang intensif.
Delapan faktor utama itu ternyata tidak berdiri sendiri, melainkan konversi terjadi karena akumulasi banyak faktor. Dari penelitian yang dilakukan, salah satu konversi bisa terjadi karena perkawinan, ditambah dengan adanya dialog yang intensif dan pembelajaran serta lemahnya pemahaman atas agama Hindu.

Atau dengan terjadinya krisis individu yang tidak mendapatkan jawaban dalam pandangan hidup lama, ditambah dengan lemahnya pemahaman teologi dan kuatnya daya tarik komunitas Kristen yang tidak mengenal sanksi baik moral maupun material seperti dalam sistem adat Bali. Namun sebagian besar converts mengakui tidak pernah belajar Hindu secara baik dan tidak memahami teologi Hindu.

Hampir tidak ada konversi yang terjadi tanpa didahului dialog dengan mempertanyakan agama lama dan keunggulan agama Kristen. Dalam dialog dengan pemahaman yang minim, penganut Hindu memang sering kewalahan dengan umat Kristen yang dengan jelas mampu memaparkan keimanan, ibadah maupun teologi kekristenan. Olehnya sudah selayaknya para pemuka Hindu, majelis Hindu maupun tokoh-tokoh Hindu memikirkan penanaman teologi dan pentingnya dialog dalam pergaulan di era global yang tidak dapat dihindari ini.

Tulisan ini dipetik dari tesis: Konversi Agama Masyarakat Bali (Studi Kasus Konversi agama Hindu ke Kristen Protestan di Kelurahan Abianbase Kecamatan Mengwi Badung), Ni Kadek Surpi, IHDN Denpasar 2009

Sumber : MEDIA HINDU ONLINE
Selengkapnya.....

Memuja Leluhur

Editorial Putu Setia

Bagaimanakah para leluhur kita di masa lalu mengajarkan masalah moral, budi pekerti, keyakinan agama, dan ritual-ritual yang ada? Apakah mereka memberikan dharma wacana sambil mengutip buku-buku suci? Mungkin tidak, teknik penyampaiannya pasti sederhana dengan cara bercerita.

Sekarang, guru atau tokoh agama mengutip kitab-kitab suci da­lam melakukan dharma wacana. Maklum, pendengarnya juga kri­tis, semua hal yang bersifat anjuran, pantangan, dan seba­gainya, selalu dimintai rujukannya di kitab suci. Begitu pula pen­dharma wacana, sebentar-sebentar mengutip sloka suci su­paya kelihatan lebih keren.

Orang-orang di desa begitu polos menjalankan ritual agama dan juga memaknai kehidupan beragama. Kalau ada piodalan di pu­ra, mereka datang tanpa rumit memikirkan apakah yang akan mere­ka puja di pura itu leluhur atau dewa atau Hyang Widhi. Isti­lah bethara, dewa, dan Tuhan masih rancu di kalangan orang-orang yang polos itu. Banyak sekali umat Hindu di pedesaan tak tahu dan tak perlu tahu apa beda bethara, dewa dan Tuhan. Ka­lau piodalan di pura ada orang yang kerauhan (trance) dan orang yang kerauhan itu menyebutkan kelinggihan Ida Bethara ter­tentu, umat sulit menjelaskan siapa Ida Bethara tertentu itu. Ka­lau ada yang bertanya apakah Ida Bethara itu Tuhan, mereka dengan mudah saja menjawab: ya. Bahkan orang kerauhan Butha pun juga disebut Tuhan. Jadi, begitu banyak Tuhan.

Ini yang sering sekali membuat orang non-Hindu bingung, ka­lau jawabannya seperti itu kenapa agama Hindu masih tegas me­nyatakan Tuhan itu Esa? Kenapa Hindu masih menyebut aga­ma monotheisme? Tak heran kalau beberapa buku sejarah dan sosial menyebutkan Tuhan umat Hindu itu ada banyak.

Di banyak desa di Bali, pemujaan kepada leluhur menda­pat­kan tempat yang utama. Barangkali warga di sini tak perlu rumit dan ruwet mendefinisikan soal leluhur itu. Bagi mereka memuja le­luhur sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka men­jalankan ritual agama, tentu saja agama Hindu. Dengan hanya me­mu­ja leluhur, mereka tetap yakin sebagai bagian yang sah dari orang Bali, dan juga tidak ragu untuk menyebutkan agama mere­ka, yakni Hindu.

Salahkah mereka yang hanya memuja leluhur? Perlukah kita men­cibir mereka sebagai “terbelakang” atau “kurang paham ajar­an agama” atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolah-olah kita lebih tahu masalah agama dibandingkan mereka? Jangan cepat-cepat melontarkan tuduhan seperti itu. Tradisi yang mereka peli­hara dan mereka pertahankan itu pastilah dulunya ditanamkan dengan penuh keyakinan oleh leluhur mereka yang paham soal aga­ma.

Kitab suci Bhagawadgita, pada sloka VII-21 mengatakan, “apa­pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut aga­ma, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap te­guh dan sejahtra”. Sloka ini adalah kelanjutan dari penjelasan bagai­mana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewa­ta. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pe­mujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

Pada sloka IX-25 disebutkan. “Yang memuja dewata pergi ke­pada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur me­reka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, te­tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”

Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, mau­pun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan paha­la. Semuanya bisa dibenarkan, namun Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik.

“Yang terbaik” tidak harus diartikan itulah jalan satu-satunya. Apalagi diartikan itu jalan yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dalam kepercayaan Hindu, seseorang yang te­lah meninggal dunia, rohnya (atman) menyatu dengan Tuhan. Bu­kan seperti kepercayaan agama lain, “berada di sisi Tuhan”. Ka­rena roh atau atman menyatu dengan Tuhan, mereka yang me­muja leluhur otomatis memuja Tuhan juga. Ibarat pepatah, sam­bil berenang minum air, sambil memuja leluhur, kita memuja Tuhan.

Dengan pemahaman seperti ini, tradisi pemujaan kepada leluhur bukanlah sesuatu yang salah. Yang penting adalah kita ta­hu di mana posisi kita berada dalam melakukan pemujaan, apa­kah itu kepada leluhur (bethara), dewa, atau Tuhan. Leluhur me­nyatu dengan Tuhan, dewa adalah sinar sucinya Tuhan, jadi se­sungguhnya obyek yang dipuja sama saja.

Masalahnya adalah apakah “memuja leluhur” lewat pe­rantaraan balian, dasaran, tapakan, atau apapun namanya, ju­ga termasuk dalam jalur “pemujaan kepada Tuhan?” Ini yang per­lu diwaspadai. Dengan segala hormat saya kepada mereka yang mempercayai balian, dasaran, tapakan dan sebagainya ini, saya berpendapat ini sudah di luar konteks. Bahkan di luar dari makna sloka Bhagawad Gita yang saya kutip di atas.

Kita tidak tahu, sejauh mana tingkat kerohanian dan tingkat spiri­tual mereka yang disebut balian, dasaran, tapakan itu. Kita sulit membuktikan apakah omongan mereka, meski pun sete­lah dinyatakan kerauhan, bisa dipegang untuk dijadikan pe­doman. Misalnya, ada tradisi, ketika baru punya anak, menanya­kan langsung ke balian (ada menyebutnya nunasang ke baas pipis) siapa yang numadi (reinkarnasi). Balian pasti men­yebutkan tak jauh-jauh, mungkin kakeknya, eyangnya, ne­neknya, atau siapa pun yang sudah meninggal dunia. Dengan mem­percayai hal ini, keluarga itu akan mematut-matutkan anak yang baru lahir itu dengan sifat orang yang numadi. Ini ber­bahaya karena karakter anak akan terpengaruh oleh apa yang su­dah diyakini oleh keluarga itu. Jadi, mari kita rasional termasuk jangan terlalu percaya kalau leluhur sering memberi kutukan atau leluhur suka minta macam-macam.

Sumber : WWW.HINDU-RADITYA.NET
Selengkapnya.....

Mantram Gayatri

Gayatri Mantra dan Pranawa Mantra (AUM atau OM) adalah Mantra-mantra yang paling populer dari agama Hindu. Gayatri Mantra berasal dari Rig Weda (III, 62:10) Beberapa orang menyebut Mantra ini Sawitri Mantra karena berisi kata Sawitri. Legenda mengatakan bahwa Mantra ini disusun oleh Mahareshi dari India Selatan Wishwamitra, yang adalah seorang ksatriya karena kelahiran dan akhirnya menjadi Brahmin karena tapanya yang serius dan bhakti kepada agama Hindu.

Seperti Mantra lainnya, untuk mendapat hasil yang tepat, Mantra ini harus diterima dari seorang Guru. Bila seseorang ingin mengucapkan (japa, chant), ia hendaknya mengikuti tulisan Dewanagari. Mohon jangan ikuti versi Inggrisnya yang saya berikan di bawah ini. Menurut agama Hindu, satu Mantra yang diucapkan secara salah lebih buruk dari pada tidak mengucapkan mantra itu sama sekali.

Secara pribadi aku merasa bahwa seperti semua Mantra yang lain, Mantra agung ini berasal dari Tantra dan itulah mungkin sebabnya mengapa ia menyimpan dalam dirinya kekuatan yang tidak dapat dijelaskan.

Gayatri Mantra bunyinya kira-kira sebagai berikut :

OM
Bhur bhuwah swah
Tat Savitur warenyam
Bhargo dewasya dhimahi
Dhiyo yo nah prachodayat

Menurut agama Hindu Mantra ini tidak bisa diterjemahkan, menulis suatu terjemahan yang salah dianggap oleh banyak orang Hindu sebagai bidah.

Bagaimanapun supaya kamu dapat menghargainya, inilah kira-kira terjemahannya yang mendekati : "OM! Mulia (Glory) untuk Sawitri, yang mulia, cahaya dari Yang Suci, marilah kita meditasi kepadanya. Mudah-mudahan ia memberi kita inspirasi dengan pengertian, ia adalah Gayatri." Terjemahan lain : "Ya Tuhan Yang Maha Esa penguasa alam semesta, Marilah kita bersemadi pada cahaya suci Tuhan yang patut disembah itu, yang memberikan penerangan suci pada pikiran kita."

Dikatakan bahwa suku kata dari Mantra agung ini adalah merupakan puncak dari empat Weda. Tantra Wishwamitra mengatakan, "dua puluh empat suku kata Gayatri adalah merupakan dua puluh empat shakti atau kekuatannya. Tata cara pemujaan hendaknya sesuai dengan bentuk dari Sakti ini."

Bahkan Mahareshi Wasishtha, yang telah melakukan perdebatan yang sengit dengan Wishwamitra, memuji Mantra ini, menyatakan bahwa bahkan orang-orang bodoh, kaum kriminal dan orang-orang cacat mental dapat memperoleh manfaat dari Gayatri Mantra. Mantra ini telah dipromosikan oleh hampir semua orang-orang suci Hindu, termasuk Adwaitist seperti Adi Sankara.
Source : Ed. Viswanathan (Diterjemahkan oleh NP Putra)

Sumber : HINDU INDONESIA.COM

Selengkapnya.....

Keajaiban di Sebuah Pura

Melebihi Mekkah atau Vatican
Oleh: Dasan Rangarajan

Hampir semua umat Hindu di dunia ini pasti tahu Bukit Suci Thirumala, di Thirupati, Andhrapradesh, India. Thirumala adalah rangkaian tujuh bukit, sehingga disebut juga Saptagiri. Di puncak bukit ke tujuh yang paling tinggi, adalah Pura Agung Tuhan Venkateshwara, atau di India Selatan dikenal sebagai Srinivasa Perumal dan di Utara lebih termashyur sebagai Balaji. Pura Agung ini adalah tempat perziarahan paling populer di seluruh dunia dan merupakan institusi keagamaan yang terkaya di dunia, bahkan melebihi Mekkah dan Vatican. Pada hari-hari biasa, minimal 5 – 10 ribu orang akan berdesakan dan mengantri berjam-jam untuk dapat masuk dan melihat sekilas Archa Tuhan Srinivasa, yang merupakan salah satu Svayamvyakta-murti atau Citra Suci yang terwujud sendiri tanpa sentuhan tangan makhluk fana.

Pura Agung ini dikelola oleh semacam badan khusus disebut Thirumala Thirupati Devasthanam (TTD) yang mengatur berbagai hal, mulai dari keteraturan berlangsungnya ritual di kuil, akomodasi para peziarah, mengelola dana yang berasal dari sumbangan umat, sampai menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan sosial di berbagai bidang seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, proteksi dan pelestarian budaya Hindu, dsb. Karena luar biasanya kepopuleran Pura ini, sampai-sampai TTD juga menerapkan sistem ticketing untuk berbagai hal yang mungkin akan dilakukan oleh peziarah. Mulai dari sekedar masuk Pura dan darshan kepada Tuhan Srinivasa, melakukan persembahan khusus, dan mengikuti upacara-upacara yang terjadwal dalam kehidupan keseharian Pura ini. Semakin mudah dan cepat bisa masuk ke dalam Pura, maka semakin mahal harga tiket yang harus dibayar. Jadi kita mengenal pembelian tiket sampai booking tiket VIP dan VVIP untuk sekedar masuk ke dalam Pura. Sistem ini selain membantu keberlangsungan dukungan dana untuk Pura, juga mempermudah bagi peziarah yang memiliki sedikit waktu. Bayangkan saja dengan waktu libur kita yang terbatas di luar India, kita jauh-jauh datang ke Thirumala, lalu harus antrilagi berjam-jam.

Dengan nilai uang yang sangat tinggi di India, banyak yang tidak dapat membeli tiket VIP apalagi VVIP, padahal bagi kita orang Indonesia yang mampu ke luar negeri, 200 – 300 ribu bukan jumlah yang berarti. Itu karena nilai uang kita justru sangat rendah di negara kita sendiri. Semisal di Indonesia kita tidak bisa beli beras seharga seribu Rupiah sekilo, tapi di India, dengan sejumlah Rupee dengan nilai yang sama bisa. Saat ini mungkin 1 Rupee India sekitar Rp. 300,00. Anggaplah tiket VVIP seharga 1000 Rupee, jadi sekitar Rp. 300.000,00. Di India dengan seribu Rupee kita bisa beli macammacam, tapi di Indonesia, nyaris tidak berharga. Di sisi lain, rakyat India sekalipun bisa mendapat kebutuhan pokok dengan harga yang jauh lebih murah dari di Indonesia, tetapi secara otomatis seribu Rupee juga termasuk jumlah yang besar bagi rakyat kebanyakan di sana. Bayangkan saja negara-negara yang nilai mata uangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia. Jadi ticketing ini cukup menguntungkan bagi peziarah yang datang dari luar India seperti kita. Beberapa saudara kami yang ke Thirumala, semua membeli tiket VVIP. Tapi itupun membuat mereka harus antri 2-3 jam untuk masuk dan melihat ke dalam Ruang Mahasuci (hanya kurang dari 10 detik!).

Antri 5-6 jam
Seorang paman dari Negeri Jiran berkisah kepada saya. Dia datang berziarah ke Thirupati dan hendak membeli tiket VVIP. Dengan nilai mata uang negaranya, tentu beliau termasuk orang yang sangat berada bila di India. Sayang, semua tiket VVIP, bahkan VIP biasa pun sudah habis. Uring-uringan mereka sekeluarga terpaksa mengikuti jalur biasa yang bisa memakan waktu 5-6 jam, mendaki ribuan anak tangga yang melalui keenam bukit menuju bukit ke tujuh yang paling tinggi. Ribuan peziarah lokal dari kalangan bawah juga mengikuti jalur yang sama, karena mereka memang tidak punya uang untuk membeli tiket VIP apalagi VVIP seperti “turis kaya” semacam kita.

Satu keluarga berpenampilan miskin dan lusuh menjadi teman seperjalanan keluarga paman. Paman bertanya kepadanya dia datang dari mana. Dia menyebut sebuah desa yang cukup jauh juga sekalipun masih dalam negara bagian Andhra. Lalu bagaimana dia datang ke sini? Mereka sekeluarga ternyata berjalan kaki dari desanya karena tak ada biaya untuk sewa kendaraan! Lalu sudah berapa kali mereka berziarah ke Thirupati? Sang ayah berkata kalau dia sejak usia 7 tahun selalu ke Thirupati setiap tahun tanpa absen (kira-kira dia berusia 35-40 tahun saat pertemuan itu). Wow! Dan dia selalu menempuh jalan yang sama, karena dari sekian tahun yang lalu ekonomi keluarga mereka tidak pernah membaik. Selama sekian tahun dia berjalan kaki dari desanya, lalu mendaki ribuan anak tangga sampai ke puncak bukit ke tujuh, mengantri berdesakan selama 5-6 bahkan pernah 8-12 jam (ini biasa kalau ada perayaan besar seperti Brahmotsava, “perayaan ulang tahun” Pura Agung itu), dan itu hanya untuk dapat melongok ke dalam Ruang Mahasuci yang tak lebih dari 10 DETIK!

Tidak mencari apa-apa
Paman baru sekali lewat jalur non VVIP ini. Dia bertanya, “Apa yang anda cari di sini. Apa yang anda mohon setiap tahun dari Tuhan Srinivasa dengan menempuh kesulitan begitu besar?” Si ayah, kepala keluarga yang miskin ini menjawab, “Saya tidak mencari apa-apa. Saya tidak memohon apa-apa. Saya hanya ingin memperlihatkan pada Tuhan Srinivasa bahwa selama setiap tahun ini saya baik-baik saja dan sekarang saya membawa keluarga saya, juga untuk memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja. Saya
datang untuk berterimakasih karena Tuhan Srinivasa selama sekian lama sudah merawat saya dan kami semua dengan begitu baik.”

Airmata Paman menetes (saya yang mendengar cerita ini juga meneteskan airmata). Paman sudah merasakan, bahwa dengan bertemu keluarga ini, seluruh perziarahannya ke Thirupati Thirumala sungguh-sungguh berhasil. Perziarahan ke Pura Agung paling termashyur di dunia ini dan Darshan 10 detik kurang itu sekarang benar-benar bermakna. Tuhan Srinivasa Sendiri sudah mengajarkan kepada kami, bagaimana sesungguhnya cinta sejati kepada-Nya. Inilah bagaimana kunjungan ke sebuah Pura merubah pandangan kami terhadap hidup ini, terhadap diri kami, dan terhadap Tuhan. Inilah bagaimana Tuhan yang bertahta sebagai Sri Srinivasa Perumal dalam bentuk sebuah arca batu hitam yang tak dibuat oleh makhluk fana manapun, telah mengubah hati kami! Inilah keajaiban dari Dharma yang telah menjadi pelita penerang keluarga kami selama ratusan generasi.

Sumber : MEDIA HINDU Online
Selengkapnya.....

Samadhi "bekerjanya diam"

Diam, dalam arti tanpa gerakan fisikal-mekanis dan tanpa kerja verbal atau membisu, memang punya arti penting dalam laku- spiritual. Ia disebut mauna. Namun lebih dari itu, esensi diam dalam konteks laku-spiritual adalah mendiamkan gejolak pikiran dan gelora perasaan, mendiamkan pusaran-pusaran mental —"citta vritti niroda". Pada tataran ini, seseorang bisa saja kelihatan sibuk secara fisikal-mekanis, namun diam, senyap, secara mental. Atau sebaliknya, tampak diam, namun penuh kerja, amat produktif.

Keterjebakan kita pada pola-pandang kasat-indria menyebabkan kita tak bisa menyaksikan `bekerjanya diam. Namun, bila saja Anda sesekali mencoba duduk diam, mengamati apapun yang terjadi di dalam, yang berlangsung di benak Anda saat ini, boleh jadi Anda terkejut. Kenapa? Karena, dalam ke-diam-an Anda itu, ternyata ada hiruk- pikuk, ada kesibukan luar-biasa di dalam.

Selama kita terjaga —bahkan saat tidur dan bermimpi sekalipun— selalu terjadi kerja fisikal dan mental. Dan selama fisik dan mental ini aktif bekerja, dimana segenap enerji-vital tersalurkan untuk menggerakkannya, spirit tak berkesempatan bekerja karena tanpa suplai enerji-vital secukupnya. Enerji-vital yang tersedia terserap sepenuhnya atau sebagian besar hanya guna mengerjakan hal- hal yang bersifat fisikal-mekanis dan mental saja.

Nah.... dalam rangka memporsikan cukup enerji-vital bagi bekerjanya spirit inilah para penekun spiritual menggelar tapa- brata. Seperti juga fisik yang membutuhkan pangan-kinum, mental dan spiritpun membutuhkan pangan-kinumnya sendiri. Kalau fisik ini butuh pangan-kinum yang bergisi, maka mental dan spiritpun butuh yang bergisi pula. Kalau mental butuh penyegaran, butuh hiburan, humor-humor segar yang mendidik, butuh bentuk-bentuk hobi tertentu, jenis-jenis rekreasi dan olah-mental tertentu, demi kebugarannya, maka, olah-batin, laku-laku spiritual adalah apa yang dibutuhkan spirit guna mengembangkan dan meningkatkan vitalitasnya. Dan semua itu hanya mungkin dicapai dalam heneng, dalam diam —baik secara fisikal maupun mental. Dalam terminologi yoga, inilah yang disebut dengan dhyana-samadhi.

Samadhi adalah `bekerjanya diam. Suatu ketika Rinzai, seorang Master Zen yang hidup di negri Cina sekitar abad ke-9 masehi pernah berkata "Jika kamu mencoba untuk menghayati Zen dengan bergerak, hal itu berarti memasuki keheningan. Jika kamu mencoba untuk menghayati Zen di dalam keheningan, hal itu berarti memasuki gerak". Mungkin Anda dapat dengan mudah serta-merta mendiamkan kerja fisikal Anda, namun kenyataan praktisnya, kita tak bisa serta-merta mendiamkan kerja mental. Setiap kontak-kontak indriawi membangkitkan gejolak dan geloranya sendiri pada tataran mental dan batiniah; ada yang keras ada yang lemah, ada yang berlangsung lama ada pula yang singkat saja, ada yang mengundang respons, ada yang berhenti sampai disitu saja, ada yang membekas dalam ingatan ada yang berlalu begitu saja tanpa bekas berarti.

Inilah faktanya.

Seperti yang diungkap oleh Danghyang Nirartha di awal tulisan ini, seorang mahayogi adalah seseorang yang mampu bekerja dalam diam, yang mampu ber-karma di dalam akarma. Di dalam kekawin "Nirartha-prakreta", beliau juga mengungkap: "Ketika hati telah tenang dan hening, jernih dan cemerlang, menyusuplah ke alam sunya; demikianlah akhirnya batin mencapai kesempurnaan". Makanya, seorang penekun spiritual melakoni tapa-brata dalam rangka membatasi kontak-kontak ini, disamping memperkokoh pertahanan terhadap munculnya gejolak dan gelora batiniah. Tapa-brata merupakan sadhana utama yang sangat membantu praktisi yoga untuk mencapai samadhi.

Guna memungkinkan `bekerjanya diam, para suciwan, para pendahulu kita menyediakan tapa-brata. Dalam tapa-brata, disamping guna memungkinkan bekerjanya sang spirit, sang jiva, juga secara proaktif menggalang kondisi diam, kondisi heneng nan hening, yang amat dibutuhkan ini. Sekali kondisi ini dicapai, jivãtman —yang terang-benderang sifatnya— akan bekerja dengan sendirinya. Dan apapun yang dikerjakannya, akan bersifat luhur, mulia. Karena sesungguhnya dialah mata-air kemuliaan itu, dialah segenap kemuliaan dari ras manusia. Dialah pengejawantahan dari Eksistensi Sejati dalam segenap makhluk.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak dan langkah kita.

Semoga Kedamaian dan Kebahagiaan menghuni kalbu semua insan.

Sumber : Hindu-Indonesia.com

Selengkapnya.....

3.4.10

Lontar Raja Purana

Halaman 1b

Ini perihal ketentuan dan kewajiban di pura Besakih (Gunung Agung) yang tercantum dalam Piagam Raja (Dalem). Anglurah Kebayan di Besakih dan Sedahan Ler di Selat mempunyai tugas yang sama untuk memelihara dan menegakkan piagam raja ini. Begini disebutkan, persembahan raja berupa tanah sawah untuk laba pura. Tanah itu ada di wilayah desa Tohjiwa terletak di subak Kepasekan, Bugbugan, Lenging Ogang, Lod Umah, Dauh Kutuh, jumlah semuanya berbibit 12 1/2 tenah, untuk Batara Ratu Kidul sepertiga, Batara I Dewa Bukit Pangubengan sepertiga, Batara Dewa Danginkreteg sepertiga, jadi masing-masing pura mendapat sawah berbibit 3 tenah 2 depuk. Lagi sawah untuk laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara di Batumadeg tanah sawah di desa Tangkup yang terletak di Jejero berbibit 5 tenah. Lagi laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara Manik Geni berupa tanah sawah di Muncan yang terletak

Halaman 2a

di Teba Kulon, Teba Lor, berbibit 4 tenah. Persembahan Dalem ke hadapan Batara Basukihan, dan Batara Tulus Dewa berupa tanah sawah di desa Klungah terletak di subak Bukihan berbibit 12 tenah yang juga dipergunakan untuk bebakaran. Untuk pesangon juru arah, pengusung Sang Hyang Siyem, Batara Rabut Paradah ialah hasil sawah di desa Macetra di sebelah selatan bukit Santap berbibit tiga setengah tenah. Ini ketentuan yang pertama. Warga keturunan dari Majapahit yang ikut bersama Sri Kepakisan yang datang dan menjadi raja di Bali ialah keturunan warga Kanuruhan, Arya Kenceng, Arya Delancang, Arya Belog, Sira Wang Bang. Sesudah itu Arya Kutawaringin. Pangeran Asak mengembara

Halaman 2b

akhirnya sampai dan tinggal di Kapal. Di sini diangkat sebagai menantu oleh Arya Pengalasan berputra laki-laki bernama Pangeran Dauh, Pangeran Nginte dan ada pula yang wanita. Pangeran Nginte berputra Gusti Agung, Gusti di Ler. Pangeran Dauh berputra laki-laki dua orang dan wanita, yang diperistri oleh Pangeran Pande, yang tertua diperistri sepupunya, yang lebih kecil diperistri oleh Pangeran Dauh yang disebut Pangeran Srantik di Camanggawon. Keturunan Arya Kanuruhan: Pangeran Pagatepan dan Pangeran Tangkas. Pangeran Pangalasan menurunkan:

Halaman 3a

Srantik ini kesatria dari Majapahit bersepupu dengan keturunan Pangeran Dauh Bale Agung warga Arya Kepakisan menjadi menteri Dalem Kepakisan yang keturunannya antara lain: Pangeran Batan Jeruk, Pangeran Nyuh Aya, Pangeran Asak. Keturunan Arya Wang Bang, Sang Penataran, Tohjiwa, Singarsa termasuk rumpun warga Pengalasan. Keturunan Arya Kenceng yaitu: Tabanan dan Badung, Keturunan Arya Belog: Buringkit dan Kaba-kaba. Keturunan Arya Wang Bang: Pring dan Cagahan Keturunan Arya Kutawaringin: Kubon Tubuh. Tiga orang wesya dari

Halaman 3b

Majapahit yang bernama Tan Kober, Tan Mundur dan Tan Kawur. Keturunannya ialah Pacung, Abiansemal dan Cacahan. Pangeran Pande bersaudara dengan Pangeran Anjarame yang kawin dengan saudara Pangeran Anglurah Kanca. Mempunyai anak yang kawin dengan Pangeran Jelantik. Pangeran Pande mengambil istri ke Kapal menurunkan Arya Dauh yang ada sekarang. Dan I Gusti Agung berputra lima orang pria dan wanita tiga orang antara lain: I Gusti Kacang Pawos, I Gusti Intaran. I Gusti di Ler berputra sepuluh orang pria antara lain: I Gusti Penida dan yang wanita kawin ke Kapal (Gelgel) dengan I Gusti Kubon Tubuh. Ini merupakan mufakat dan ketulusan hati yang tersebut di atas ngemong pura-pura di Besakih. Semoga berhasil dan bahagia.

Halaman 4a

Ini perihal upaya untuk menenteramkan pulau Bali supaya selamat dan selalu berpahala. Sepatutnya Nglurah Sidemen mengawasi ketentuan pura-pura seperti dahulu, tempat bersemayamnya para Dewa dan Batara. Pikiran yang tenteram dilambangkan dengan Padmasana. Padma Nglayang adalah lambang dari Gunung Agung, Gunung Batur adalah lambang dari gunung Indrakila. Di Besakih bagian selatan tempat. bersemayamnya I Dewa Kidul, bangunan gedong bertembok. Persemayaman Ida I Dewa Manik Mas meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Bangun Sakti meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Ulun Kulkul meru bertingkat satu bertiang empat. Persemayaman I Dewa Jero Dalem meru bertingkat satu bertiang empat dan persemayaman I Dewa Empu Anggending sebuah gedong. Persemayaman Batara Sri meru bertingkat satu bertiang empat, persemayaman Batara Basukihan meru bertingkat tujuh. Persemayaman Batara Pangubengan meru bertingkat sebelas.

Halaman 4b

Di Penataran, persemayaman I Dewa Atu sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Paninjoan sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Mas Mapulilit meru bertingkat sebelas. Ini semua terletak di Penataran Agung. Lengkap dengan tempat jempana semua pura terutama sekali bangunan Sanggar Agung. Bale Agung yang terdiri dari sebelas ruangan, sebuah Kori Agung, di luar pintu gerbang ada dua balai bertiang delapan dan candiraras mengapit pintu gerbang. Perihal persemayaman I Dewa Tegal Besung sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Samplangan sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Enggong sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Sagening sebuah meru bertingkat lima. Persemayaman I Dewa Made sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pacekan sebuah meru bertingkat satu berbentuk gedong. Persemayaman Pangeran Tohjiwa sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pasek sebuah meru bertingkat tiga.

Halaman 5a

Selanjutnya tentang bale mandapa tempat peristirahatan Dalem didampingi oleh Nglurah Sidemen. Dalem seyogyanya mengetahui semua bangunan suci yang ada di pura Batumadeg yang diemong oleh I Dewa Den Bancingah bersama para Arya dan masyarakat di sebelah barat sungai Telagadwaja supaya dalam keadaan baik semuanya. ini ketentuan mengenai persemayaman para Dewa yang diemong oleh Anglurah Sidemen bersama para Arya dan masyarakat desa di sebelah timur sungai Telagadwaja yaitu: Persemayaman I Dewa Gelap sebuah meru bertingkat tiga bertembok berdinding. Persemayaman I Dewa Bukit bersama permaisuri sebuah meru bertingkat satu bertembok. Persemayaman I Dewa Ratu Magelung meru bertingkat tiga bertembok. Persemayaman I Dewa Wisesa sebuah meru bertingkat sebelas dan sebuah candi raras yang merupakan pintu/jalan keluar masuk I Dewa Bukit. Persemayaman Sang Hyang Dedari sebuah balai bertiang empat yang dibuat dari kayu cendana.

Halaman 5b

Persemayaman I Dewa Tureksa sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Maspahit sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Manik Makentel sebuah meru bertingkat sebelas, sebuah balai Panggungan beratap ijuk lengkap dengan kain busana, sebuah balai Manguntur. sebuah balai Sumangkirang beratap ijuk. Di luar pintu gerbang dua buah balai Ongkara mengapit pintu. Dan juga dua buah balai Majalila beratap ijuk berhadap-hadapan. Persemayaman I Dewa Manik Geni sebuah meru bertingkat sembilan. Persemayaman I Dewa Penataran sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa Hyangning Made Gunung Agung sebuah meru bertingkat lima. Persemayaman I Dewa Gusti Hyang sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman Ida Hyang Antiga sebuah meru bertingkat satu. Persemayaman I Dewa Hyangning Teges sebuah meru bertingkat satu, semuanya beratap ijuk dan berdinding. Ini bagian yang diemong oleh Anglurah Sidemen. Semua bangunan suci yang berada di Penataran Agung juga menjadi tanggungjawab raja.

Halaman 6a

Dan lagi bangunan suci di pura Dangin Kreteg ditetapkan diemong oleh Arya Karangasem. Demikianlah semua bangunan suci yang tertulis dalam piagam. Dan untuk selanjutnya tentang upakara dan upacara besar maupun kecil menjadi tanggungjawab Anglurah Sidemen, juga mengenai kain-busana usungan para Dewa dan alat-alat perhiasan lainnya dibiayai dengan hasil tanah di Bebandem, Cacakan, Pajegan, Gantalan. Ini harus diingat / diperhatikan oleh Anglurah Sidemen, perlengkapan usungan para Dewa selengkapnya dan kewajiban para pemegang sawah milik raja. Begini anugerah Batara Maospahit. "Wahai turunanku raja Majapahit yang kuberikan gelar Ratu Kepakisan yang menjadi raja Bali, turun temurun harus mentaati dan menghormati piagam ini. Pegang dengan teguh piagam ini dan sebar luaskan di Bali. Dibantu oleh keturunan para Arya yang mengiring dan para punggawa yakni:

Halaman 6b

Arya Kanuruhan, Kenceng, Belog. Delancang. Dan berikutnya warga Wang Bang yang juga turunan Brahmana yang ikut bersama-sama mengarungi samudra dan warga Kuta Waringin. Kepada Sira Wang Bang saya tugaskan menuju Gunung Agung (Besakih) supaya bersama-sama dengan Sang Kul Putih mohon anugerah ke hadapan Dewa (mengabdikan diri ke hadapan para Dewa) langsung sampai ke puncak Gunung Agung. Maka mulai sekarang Sira Wang Bang bersama Sang Mangku Gunung Agung. Sira Wang Bang bertugas menjaga arca Dewa dan piagam Raja yang turun dari Kahyangan. Ini semua hendaknya diemong selama-lamanya, turun temurun. Aku mengatur / menentukan pemujaan kepada para Dewa dan lanjut upacara pengodalan pada hari Rabu Wage, wuku Kulawu, upacara pemujaan setiap hari purnama dan tilem (bulan gelap) Oktober. Nopember. April, Juli. pada saat itulah raja datang bersembahyang ke Besakih bersama para pendeta dan pasukan. Aku memberi ijin untuk mengambil hasil bumi, udara, tegalan dan sawah di desa-desa, hasil pantai, laut dan gunung di sebelah

Halaman 7a

timur sungai Telagadwaja. Terutama hasil tegal dan sawah bukti di desa Muncan. Jumlah uang tujuh belas ribu dan sawah berbibit delapan puluh lima tenah, sebagai biaya dapur dan isi lumbung agung, Sawah-sawah itu terletak di Bukih, Pedengdengan Kelod, sampai ke Keben Aras yang bernama Tinggarata. Pahyasan, Sari, Gunung Sari Lebih, dikenakan bawang putih 2200 biji dan lagi hasil bumi Selat. Ingat barang-barang itu sebagai pengisi lumbung agung yang terletak di halaman luar pura Besakih tempat hasil sawah laba itu seharga 1700. Lumbung itu milik raja dan lumbung pajenengan Batara di Gunung Agung (Besakih). Kalau sudah demikian stabillah persemayaman Dewa dan kedudukan raja. Kalau lumbung Dewa dan milik raja rusak maka diwajibkan desa harus memperbaiki lumbung itu dan mengatapi sampai selesai. Raja memberikan kuasa kepada semua penghulu desa.

Halaman 7b

Peringatan kepada Sedahan Penyarikan: supaya menaikkan padi ke lumbung terutama hasil sawah Santen Dawa Higa yang dipergunakan untuk biaya upacara di pura Besakih dan Batara di puncak Gunung Agung. Bahan upakara itu dibebankan kepada masyarakat desa Sikuhan, Renaasih, Luwih, Suarga Peleng, masing-masing 500 biji dasun putih beserta uang dan ayam putih jantan betina, bunga palawa, bunga kasna yang bunganya melekat menjadi satu dan cemara tiblun. Ini harus dibawa setiap hari Kamis Paing wuku Wayang dan Minggu Paing Dungulan ke halaman luar pura Besakih diterimakan kepada Sedahan Dewa. Jangan lalai jangan alpa dan jangan curang. Ini adalah persembahan raja kepada para Dewa dan Batara yang bersemayam di puncak Gunung Agung. Batara bersabda, "Hai kamu manusia taatilah titahku! Piagam ini telah direstui oleh para Dewa Nawasanga.

Halaman 8a

Jika tidak mentaati Piagam ini semoga kamu sirna dan menjadi lintah". Ini Piagam tahun 1007 Masehi (929 Saka). Om Namobhye namah, Om Sri wastha sattawasar. Raja Majapahit kabarnya dalam keadaan berbaring. Pada waktu itulah Prasasti yang berupa Piagam ini dikeluarkan. Aku adalah Batara Indra, aku ini adalah Batara Maospahit dan aku raja Majapahit bersama-sama bersemayam di pulau Bali. Diceritakan sekarang Dalem Pakisan yang menurunkan raja Bali. Karena ketulusan hati dan kebijaksanaan beliau ibarat Sang Hyang Darma menjadi raja yang dapat mengalahkan raja Bali yang terdahulu. Dan Sira Wang Bang yang mengabdikan diri kepada Batara di Besakih juga mengemong pura tempat bersemayamnya Batara Naga Basukih. Demikianlah kewajibannya selama hidup serta para turunannya mengabdi mempersembahkan air suci. Sira Wang Bang mengantarkan persembahan raja ke hadapan Batara di Kahyangan tatkala bersembahyang ke hadapan yang bersemayam di puncak Gunung Agung dan Batara Pusering Tasik (Tengah samudra) dan lautan madu.

Halaman 8b

Aku mengambil hasil bumi dan angkasa, segala jenis hasil pesisir, lautan dan gunung untuk biaya upacara ke hadapan Batara di Besakih (gunung Agung). Berkat anugerah Batara masyarakat bersatu mematuhinya akibatnya bumi pun makmur. Para Arya semua bersatu yaitu: Arya Kanuruhan, Arya Kenceng, Delancang, Arya Belog, Arya Kuta Waringin. Sabda Batara, "Hai kamu manusia mayapada, jangan engkau durhaka kepadaku. Jika engkau tidak memelihara pura-pura di Besakih persemayaman para Dewa masing-masing dan kalau ada yang rusak tidak kamu perbaiki, tidak bakti, semoga kamu bertikam-tikaman dengan keluargamu dan semoga engkau binasa, martabatmu akan surut dan menderita serta jauh dari keselamatan". Sabda Batara Nawasanga kepada para umat penganut Siwa dan Buda dan para catur wangsa supaya memelihara dan memperbaiki kerusakan pura di Besakih. Apabila waktu bersembahyang melihat warna seperti ijuk sekakab (segabung), itu pertanda turunnya Batara Kidul Bangun Sakti. Ucapkan mantra: Ong, Bang, I, namah. manifestasi Sang Hyang Antaboga yang bersemayam di samudra.

Halaman 9a

Kalau kelihatan seperti air tenang itu pertanda turunnya I Dewa Bukit. Ucapkan mantra: Ong, Yang, Ung, namah. ltulah manifestasi Batara Duhuring Akasa / Batara Naga Basukih. Kalau kelihatan ada cahaya seperti api menyala dan gemerlapan, itu pertanda turunnya Batara Atu. Ucapkan mantra: Ongkara Siwa namah swaha. Manifestasi Sang Hyang Siwa. Apabila kelihatan warna putih berkilau-kilauan itu pertanda turunnya I Dewa Sesa. Ucapkan mantra: Ong, Saswara Indra nama swaha. Manifestasi Sang Hyang Surya. Tampak cahaya berwarna merah itu pertanda turunnya I Dewa Rabut Pradah. Ucapkan mentera: Ong, Bang Yudhaya namah swaha. Manifestasi Batara Brahma. Kelihatan cahaya berwarna kuning seperti emas wilis itu pertanda turunnya Batara Maospahit. Ucapkan mentera: Ong, Ong, Tang namah swaha. Manifestasi Batara Wulan.

Halaman 9b

Kelihatan. cahaya seperti kaca hitam itu pertanda turunnya Batara Batu Madeg. Ucapkan mentera: Ong, Ang, Ung. Kresnaya nama swaha. Manifestasi Batara Wisnu. Kelihatan cahaya seperti perak bertatahkan permata mirah itu pertanda turunnya Batara Basukihan. Ucapkan mentera: Ong, Mang, Siwaya namah swaha. Manifestasi Sang Agawe Pita. Kelihatan cahaya seperti mirah dan intan yang telah digosok itu pertanda turunnya I Dewa Mas Makentel. Ucapkan mentera: Ong, Mang. Siwaya namah swaha. Manifestasi Batara Rabut Sedana Sakti. Kelihatan cahaya seperti air embun seperti permata jamrut itu pertanda turunnya I Dewa Manik Malekah. Ucapkan mentera: Ong, Sang Bhawantu Sri ya namah. Manifestasi Batara Sri. Kelihatan cahaya seperti bunga teleng gemerlapan itu pertanda turunnya Batari Pertiwi. Ucapkan mentera: Ong, Ong, Sri Sundharu ya namah. Manifestasi Batari Kuwuh/Batari Sundhari. Beliaulah yang menciptakan yang indah-indah dan benda-benda berharga dan persemayaman beliau tiada taranya.

Halaman 10a

Kelihatan cahaya seperti kunang-kunang bertaburan itu pertanda turunnya I Dewa Geni / I Dewa Gelap. Ucapkan mentera: Ong Sa, Ba, Ta, nama siwaya. Beliau berwujud baik buruk, bumi dan angkasa. Kelihatan cahaya gelap gulita itu pertanda turunnya Batara Gangga di sebelah selatan Besakih menjadi mata air yang dinamakan Sindu Tunggang. Kisah kenyataan. Kelihatan cahaya gelap gulita turun Batari Gangga di sebelah utara Besakih: menjadi mata air yang dinamakan Sang Hyang Tirta Sakti Amerta. Demikianlah kisah semua mata air pada tahun 122 M. Turun Batara Indra dan membawanya ke Surga. Ini disebut Brahma Tirta terjadi pada tahun 126 Masehi. Turun pada waktu gelap gulita hujan angin kelihatan seperti mas berpermata intan dan terdengar seperti suara gentaworag para Mpu mengalun. Ucapkan mentera: Ong, Nang, Ung, Nang, Ung. Turunlah arca mas bermuka empat, arca perak, tembaga, loyang, besi. Semua bertatahkan permata mirah.

Halaman 10b

Turun pada waktu malam hari disertai topan dan hujan itu pertanda turunnya Sang Hyang Siyem berwarna putih kehijau-hijauan dan Sang Hyang Rabut Pradah diiringi dengan tabuh-tabuhan dengdengkuk. Untuk mengingatkan raja supaya bersembahyang ke Besakih bersama para Arya serta rakyatnya mempersembahkan upacara. Semua mengiring malasti ke pancuran Pamanca (Arca) pada paruh bulan terang dengan kurban berupa babi guling 5, suci, dan lis. Di Pulo Jelepung sawah berbibit dua tenah dan lagi di Kinang sawah berbibit dua setengah tenah di Balu Agung Jelantik sawah berbibit empat tenah di Batu Mangecek berbibit empat tenah. Lagi sawah di daerah Tusan yang terletak di Jati Heling berbibit dua tenah.

Halaman 11a

Di Ketekan Aji berbibit tiga tenah. Di desa Nyalian sawah Dana berbibit empat tenah. Dan lagi hasil bumi Duda sampai di Henteran, Macang. Babalan, itu persembahan Dalem ke hadapan Batara di Pajenengan Dalem. Lagi persembahan Dalem ke hadapan Batara Pajenengan hasil tegalan Payasan dan pegunungan Lebih sampai ke Hengarura, Sukalewih, Pedeng. Galah, Sikuan. Pranasih dan semua warga desanya yang berjumlah 1515 orang. Daerah Muncan yaitu : Susut. Yeha, Pejeng, Tampelan dikenakan gula, atep, ubi-ubian dan buah-buahan. Persembahan raja ke hadapan I Dewa Ratu Kidul berupa hasil dari bagi hasil sawah di wilayah desa Selat yang terletak di Timpas berbibit lima tenah dan bagi hasil di Santen Bulon, Padatahan, Jalantehep, berbibit dua tenah di gunung Paseba. Lagi persembahan Dalem ke hadapan Batara di Pangubengan, Sang Hyang Tirta, I Dewa Bukit Kiwa Tengen, Pajenengan Dalem. berupa hasil dari bagi hasil sawah Pagunungan berbibit lima tahil. Persembahan Dalem untuk upacara ke hadapan Batara Pajenengan Dalem tetap tidak boleh diubah yaitu hasil dari bagi hasil sawah Santen Wetan berbibit lima timbang.

Halaman 11b

Persembahan ke hadapan Pajenengan Dalem ditetapkan berbibit dua tenah. Dan sawah pramaseba di Santen Kelod berbibit empat timbang. Hasil sawah Dawa Higa persembahan ke hadapan para Dewa masing-masing berbibit tiga timbang dan untuk Pajenengan Dalem berbibit dua timbang. Sawah pramaseba untuk biaya upacara persembahan ke hadapan I Dewa Wisesa, Ratu Magelung, Pajenengan Dalem berbibit tiga timbang. Persembahan ke hadapan I Dewa Atu bagian dari hasil sawah bukti di Pacalayan, Kemenuh berbibit enam timbang. Dan sawah pramaseba di Pulo Jelepung berbibit dua timbang. Untuk persembahan I Dewa Paninjoan Trenggana, sawah Mategeh berbibit dua timbang. Untuk I Dewa Buncing hasil sawah di Walulang berbibit satu timbang. Persembahan ke hadapan Batara Maspahit dengan ketentuan sampai dengan Pajenengan Dalem, hasil sawah Gumatah berbibit tiga timbang.

Halaman 12a

Lagi ada persembahan Dalem untuk biaya rangkaian upacara pangodalan di Kehen, di Panggungan sampai dengan Pajenengan Dalem hasil sawah Pajeg Lalima berbibit delapan timbang. Dan persembahan ke hadapan I Dewa Manik Makentel, I Dewa Mas Malilit, terutama di Sanggar Agung sawah pramaseba di Sukawana berbibit empat timbang. Persembahan Dalem ke hadapan I Dewa Dangin Kreteg setiap bulan Nopember (Posya) diselenggarakan oleh rakyat desa Selat dengan biaya hasil pajak sawah di Mesan berbibit dua tenah. Laba untuk I Dewa Pangubengan hasil dari bagi hasil sawah di Pugung berbibit lima timbang. Tanah laba I Dewa Pasek Baledan termasuk yang mempunyai kewajiban untuk mengerjakan dan menyelenggarakan upacara pengodalan I Dewa Bukit. Apabila rusak palinggih I Dewa Bukit, dikenakan uang 1700 dan beras pilihan yang berwarna merah sebanyak 50 c3;u. pajak dari tanah bukti pramaseba berbibit 10 tenah dan pajak tanah Madesa berbibit 16 tenah dan biaya makan dan minum semua pekerja.

Halaman 12b

Persembahan raja ke hadapan I Dewa Atu berupa sawah di desa Macetra yang terletak di Asni berbibit 2 tenah di Bengkel berbibit 10 tenah. Persembahan raja ke hadapan I Dewa Rabut Pradah berupa pajak tanah bukti di Lod Bukit Antap dan tanah pramaseba berbibit 31/2 tenah. Demikianlah persembahan raja ke hadapan I Dewa Ratu Kidul hasil tegal dan sawah di desa Muncan yang terletak di Bebekcabe berbibit 2 tenah Auman wetan berbibit 5 tenah. Dan pesangon para muda yang berkewajiban membawa umbul-umbul, hasil sawah di Auman Wetan berbibit 5 tenah, tanah sawah yang di Teba Kulon berbibit 4 tenah. Biaya untuk bunyi-bunyian semua pura di Besakih hasil sawah di Pedengdengan Beten berbibit 10 tenah. Tanah sawah yang di Bukit Ungguh masing-masing pura mendapat sawah berbibit 1 tenah.

Halaman 13a

Semua penggarap sawah di subak Bukihan berkewajiban memikul/membawa sesajen dan hasil sawah untuk keperluan upacara I Dewa Atu di Besakih, hasil sawah di subak Ubung berbibit 10 tenah sampai kepada penggarap di subak Kenabedil. Ada lagi persembahan I Dewa Atu sawah di Kasur Sari dan Duhuring Pangalapan berbibit 8 tenah. Persembahan raja untuk pembiayaan upacara di Besakih hasil sawah di Kinang berbibit 21/2 tenah, Tikbatu berbibit 2 tenah, Benyah berbibit 11/2; tenah. Persembahan raja ke hadapan para Dewa di pura Dewa di pura Batumadeg dan Basukihan hasil sawah desa Tabola yang terletak di subak Cangga berbibit 10 tenah. Persembahan raja ke hadapan Batara Pajenengan dan Gunung Agung hasil sawah di desa Klungah di subak Basukihan berbibit 11 tenah yang dikelola oleh Sedahan Dalem termasuk sawah-sawah di desa Tangkup yang terletak di subak Umajero berbibit 4 tenah. Sawah di subak Bugbugan. Lod Umah, Kubon Kutuh di desa Tohjiwa berbibit 7 tenah.

Halaman 13b

ltulah persembahan raja untuk pura Dangin Kreteg dan Kiduling Kreteg. Persembahan raja untuk Pajenengan hasil sawah di subak Kalang berbibit 2 tenah. Persembahan raja ke hadapan I Dewa Rabut Phala sawah di Batu Agung Jelantik berbibit 4 tenah dan di Batu Mangecek berbibit 4 tenah Lagi persembahan raja sawah di desa Tusan yang terletak di subak Jati Heling berbibit 2 tenah, Ketekan Aji berbibit 3 tenah. Termasuk untuk jamuan. Di desa Nyalian terletak di subak Dana berbibit 4 tenah untuk biaya Batara Turun Kabeh di Penataran Agung dan biaya makan para pengiring. Desa Muncan, Susut, Yeha, Pejeng, Tampelan diwajibkan mempersembahkan: gula, atep, umbi-umbian dan buah-buahan.

Halaman 14a

Hasil dari Duda sampai Henteran, Macang, Babalang dan hasil tegal Payasan, pegunungan Lebih serta anggota masyarakatnya merupakan persembahan raja ke hadapan Batara Pajenengan Dalem. Sukalewih, Pedeng, Galah, Sikuan, Pranasih semua itu berjumlah 1515 merupakan abdi Batara. Ini patut diingatkan pangodalan I Dewa Mas Malekah pada hari Kamis Wage wuku Sungsang dengan sesajen seperti berikut; kreti sedandanan, guru panggung winangun urip, bawi ji ampin beserta cacahan agung, iwak wawo, serta lis thiti masa, genap serantasan serta gending. Dan lagi upacaranya pada hari yang sama seperti yang sudah-sudah dengan upakara; pisang kembang jati, guling belibis (itik) sedandanan, cacaya berdaging babi, beserta sesayut, 5 pajeg, sesayut pangodalan 7 pajeg. Demikian upakara upacara persembahan raja ke hadapan I Dewa Mas Malekah. Persembahan ini juga diikuti oleh orang-orang sekitar Besakih terus sampai ke Temukus. Peristiwa ini supaya tetap dilaksanakan dan ditaati di bawah pimpinan Sedahan Dalem di Besakih.

Halaman 14b

Demikian pula persembahan raja berupa hasil sawah milik raja yang terletak di Bungaya supaya langsung dibawa ke Gunung Agung (Besakih) berbibit 5 tenah dan patut diingat dan harus sampai pada upacara odalan dua kali dalam setahun. Masyarakat Tenganan berkewajiban membayar upeti dari hasil tanah sawah dan tegalan sesuai dengan perhitungan luas tanah dan kain geringsing. Persembahan raja ini supaya diterima oleh Panyarikan Dalem sebagai persembahan ke hadapan I Dewa Pusering Rat, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Surya, Batara Wulan, I Dewa Manik Angkeran, I Dewa Tulus Dewa, Ini persembahan raja yang patut dihormati dan ditaati. Sedahan Dalem bernama I Prejo hendaknya ingat akan kewajiban mengamankan dan mengatur persembahan raja di sebelah barat Besakih sampai ke sebelah utara di kaki Gunung Agung sampai pesisir, batas baratnya sampai di Pangootan. Ini merupakan persembahan raja kepada pura-pura di Besakih berupa kacang-kacangan dan buah-buahan. Hal ini supaya diingat oleh Ki Prejo untuk selama lamanya. Ong Mastu Bhyonamah. Ini kesimpulan raja sebagai perwujudan ketulusan hati ke hadapan para Dewa.

Halaman 15a

Kamis Pon wuku Wayang hari kedelapan paruh bulan terang September, saya Arya Kapakisan raja Bali mulai menetapkan ketentuan tentang pura Besakih setelah bermusyawarah dengan Arya Kanuruhan, Kenceng, Dalancang, Belog, Waringin. Sira Wang Bang mendukung keputusan raja dan akan bakti ikut serta memelihara bangunan suci persemayaman I Dewa Bangun Sakti, Manik Mas, persemayaman Sang Ananta Boga yang bernama Padma Sapta Bumi serta pesuciannya di Sindhu Tunggang. Persemayaman Batara Sapta Akasa atau Sang Naga Basukih berupa meru bertingkat 7 di pura Pengubengan dan di sana ada mata air yang disebut Tirta Amerta Urip. Persemayaman I Dewa Rabut Phala di pura Kiduling Kreteg meru bertingkat 11, juga disebut persemayaman Batara Brahma. Persemayaman I Dewa Wisesa Selemadeg / Batara Wisnu meru bertingkat 11. Persemayaman I Dewa Wisesa / Batara Raditya meru bertingkat 11. Persemayaman I Dewa Maospahit / Batara Candra meru bertingkat 11.

Halaman 15b

Persemayaman Batara Siwa Nyatur Muka / Batara Guru meru bertingkat 11. Batara Guru menunggal dengan Batara Bukit dan Batara yang menguasai dunia. Ini yang dipuja dan disembah oleh raja sampai dengan persemayaman Sang Taksaka/Batara Kwera yang disebut Luhuring Akasa sebagai penjaga kestabilan dunia. Stana I Dewa Manik Makentel / Batara Rabut Sedana meru bertingkat 11. Stana I Dewa Basa manifestasi Sang Hyang Tapapita yang menciptakan tempat suci dan air suci dunia, meru bertingkat 9. Dan demikian ini lagi kewajiban raja ke hadapan para Dewa untuk seterusnya supaya memelihara dan memperbaiki semua pura dan Taman-tamannya serta 'upacaranya tanpa kecuali semua mengikuti raja berdatang sembah terutama orang-orang yang mendapat kedudukan Pangeran, para pendeta dan balian. Piagam ini patut dipegang dan ditaati teguh-teguh. Dalam pelaksanaannya mempergunakan hasil; tegalan dan sawah di desa-desa yang menjadi laba pura Besakih.

Halaman 16a

Ini persembahan raja Bali untuk Batara di Penataran Agung diterima oleh Sedahan Ler yang bernama Ki Prejo dan supaya disimpan di Penataran serta dibuatkan bangunan suci tempat membuat sesajen persembahan raja Bali. Termasuk juga Ki Panyuruhan yang berkedudukan di Selat yang bertugas memegang hasil laba pura Besakih dan harus menyetornya dua kali, setiap enam bulan yaitu setiap hari Jumat Kliwon Sungsang dan Minggu Wage Wayang. Upacara yang diselenggarakan oleh Wang Bang yang merupakan awal persembahan raja Bali pada bulan Juli. Masyarakat desa di sebelah timur sungai Telagadwaja patut mempersembahkan beras putih beserta buah-buahan sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan supaya dibawa bersama-sama diserahkan kepada Sedahan Ler untuk upacara Batara di Gunung Agung / Besakih pada bulan Agustus. Anglurah Mangku di Besakih berkewajiban menyelenggarakan upacara persembahyangan di pura Gelap dengan kurban kerbau hitam dan sesajen secukupnya. Pada bulan September raja Bali bersama Panyarikan dan para pendeta berkewajiban menyelenggarakan kurban kerbau hitam dan sesajen secukupnya persembahan ke hadapan I Dewa Penyarikan.

Halaman 16b

Pada bulan Oktober (Kartika) Anglurah Agung bersama warga Pasek menyelenggarakan kurban kerbau hitam beserta sesajen secukupnya dan gelar sanga yang dipersembahkan ke hadapan I Dewa Pasek. Pada bulan Nopember (Margasira) raja dan masyarakat di sebelah barat sungai Jinah menyelenggarakan kurban kerbau hitam ke hadapan Batara di pura Batumadeg. Pada bulan Desember (Posya) raja Bali berkewajiban menyelenggarakan upacara kurban kerbau hitam dan sesajen secukupnya bersama masyarakat di wilayah Liladnyana supaya mempersembahkan buah-buahan dan umbi-umbian untuk upakara persembahan ke hadapan Batara di Besakih. Semua area Dewa disucikan ke pantai/mata air pada bulan mati (tilem) Desember (Posya). Raja Bali juga menyelenggarakan upacara odalan di pura Dalem Puri dengan sesajen sesayut agung, sajen secukupnya dan babi seharga satu ampin sesuai dengan ketentuan upacara Batari Durga (Batara Kidul). Pada bulan Januari (Magha) raja Bali berkewajiban menyelenggarakan upacara odalan di pura Besakih dengan sesajen secukupnya dan babi seharga 900 kepeng serta sajen perlengkapannya.

Halaman 17a

Pada bulan Pebruari (Palguna) hendaknya masyarakat Besakih menyelenggarakan upacara dengan sesajen secukupnya dipersembahkan ke hadapan Dewa Panghulu. Pada bulan Maret (Cetra) seluruh masyarakat desa Besakih di setiap banjar ngusaba membuat sesajen nasi takil sebagai persembahan ke hadapan Dewa di Balai Panggungan dan nasi cacahan secukupnya winangun urip. Pada bulan April (Watseka) hendaknya Pemangku bersama raja mengiring arca Dewa malasti ke pantai Klotok dengan sesajen beralaskan kulit kerbau yos brana serta dimeriahkan oleh seluruh masyarakat Bali. Ki Sedahan supaya mengingatkan persembahan masing-masing desa yang menjadi kewajibannya. Ki Sedahan Ler menimbang pajak bukti yang akan dipergunakan upakara persembahan ke hadapan I Dewa Bukit Tengen. Ki Sedahan Geriana mempersembahkan upacara ke hadapan I Dewa Bukit Kiwa. Ki Sedahan Pesaren mempersembahkan upacara odalan ke hadapan I Dewa Ratu Magelung dengan sajen, suci petak, busana selengkapnya, Komara Ghana Komara Sidhi.

Halaman 17b

Ki Sedahan Ler mendapat bukti 220 timbang, Ki Sedahan Pesaren 100 timbang, Ki Sedahan Geriana 100 timbang, Ki Sedahan Badung yang menyelenggarakan upacara pangodal I Dewa Wasesa mendapat 100 timbang, hasil sawah yang terletak di Kondur Kodok di sebelah barat Sewaka, Pidikan, Rarempe. Ki Pasiwer di Duda menyelenggarakan upacara odalan I Dewa Maospahit dan Pajenengan Dalem. Biaya upacaranya hasil sawah dan pegunungan Geriana seharga 550 ditambah dengan hasil tegalan Tutuban. Penyelenggaraannya dua kali dalam 7 bulan yaitu pada hari Sabtu Kliwon wuku Sungsang di Pajenengan Dalem dan pada hari Kamis Wage wuku Sungsang untuk I Dewa Maospahit. Ini harus diterimakan kepada Sedahan Dalem. Ki Sedahan Bancingah memegang sawah bukti yang terletak di Bunteh berbibit 2 tenah. Ia wajib menyerahkan beras 100 timbang untuk biaya upacara persembahan ke hadapan I Dewa Manik Makentel.

Halaman 18a

Ki Sedahan Tastasan memegang sawah bukti 2 tenah yang terletak di Mesan. Ia wajib menyerahkan beras 100 timbang untuk upacara persembahan ke hadapan I Dewa Bukit Rabut Phala. Semua hasil laba pura diterimakan kepada Ki Prejo dan Ki Sedahan Jero Ler. Kewajiban yang patut dipenuhi oleh Ki Pasek Kembawon dan Pasek Nengah yang dipercayakan untuk memimpin daerah pegunungan yaitu: desa Sukalewih, Gunung Galah, Sikuan, Pranasuka. Desa Sukalewih dikenakan uang 2000 kepeng. Gunung Galah 1000 kepeng. Rarisitem dan masyarakat desa Tuminghal dikenakan pajak berupa uang 4000 kepeng, desa Sikuan 700 kepeng. Pranasuka 500 kepeng. supaya dikumpulkan oleh Pasek Sitem dan lanjut menyerahkan kepada Sedahan Dalem ditambah bawang putih 1200 biji. Desa Sikuan 700 biji, desa Pranasuka dikenakan bawang merah 8 ikat, desa Sukalewih juga dikenakan kulit melinjo seberat uang kepeng 10.000.

Halaman 18b

Di samping itu juga diwajibkan membantu dan menjaga pura Besakih terutama sekali sebagai tenaga kerja di pura Besakih. Ini milik Delta tidak boleh dimiliki sendiri. Ini peleburan segala bencana dan malapetaka dengan sesajen: tumpeng 1 buah berlauk terasi merah, bawang jahe. beras 1 takaran (1 kulak), benang 1 tukal, uang kepeng 225, segau, tepung tawar. Lis dari daun kelapa muda. Menteranya: Oh Sang Kala Purwa, Sang Kala Sakti, Sang Kala Braja, Sang Kala Ngulaleng, Sang Kala Tamba Petra. Sang Kala Suksma, jangan sembarangan menyusup merasuki. Jangan sembarangan mengganggu, ini hidangan santapanmu tumpeng dan terasi beserta bawang jahe, makanlah! Setelah itu silakan pergi! Bila kurang suguhan ini, pergilah ke Pasar Agung, ini uang 225 kepeng, benang 1 tukal. pergunakan untuk berbelanja di Pasar Agung. Berikan anak dan istrimu serta cucu, jangan kemari lagi, marilah bersama saling menjaga dan semoga sama-sama berhasil. Sajen ini hendaknya lengkap.

Halaman 19a

Ini penebusan para Pemangku yang sudah suci. Perincian kurbannya: ayam 5 ekor, babi guling 1, tulung urip. itik 2 ekor, Us 2, anjing bang bungkem, uang 500 kepeng, kain seperangkat, penek gurih, untek 16 buah, peras putih kuning, pisang kembang, pisang jati dan perlengkapan kurban secukupnya. Kurban yang di halaman berupa: angsa dan kepala sapi yang dibuat dari tepung 3 warna (merah, putih, hitam). Tata cara mencampur kurban / caru seperti yang sudah-sudah. Sesuai tingkatannya. kecil (nista), sedang (madya), besar (utama) dari kurban menurut kemampuan atau kehendak. Ini upacara penebusan kepada semua yang menyebabkan bencana: Kurban yang disebut Eka Dasa Rudra yaitu kurban untuk semua Bhuta Kala di Bali. Kurban/caru di desa-desa terdiri dari ; tulung banyaknya 11, panyeneng, uang 200 kepeng, benang 1 tukal, peras ing tapi, kumaligi, isuh-isuh, tepung tawar, kumba agung banyaknya 9, beserta tempatnya dan diisi dengan air kelapa muda (ririhan) jayanti jayamandala, sirih dan pinang, buah-buahan.

Halaman 19b

Maksudnya untuk menghilangkan bahaya dan bencana desa serta yang memimpinnya. Ingatkan membuat sanggar tawang seperti yang sudah-sudah. Ini kurban Manca Balikrama. Menjadi kewajiban dan tanggungjawab raja. Dilaksanakan setiap pergantian bilangan puluhan tahun Saka di Penataran Agung Besakih. Sesudah di Pura Besakih, di Bancingah Agung. Kalau tidak demikian di Pasar Agung. Setelah dilaksanakan terlebih dahulu di desa-desa dengan kurban yang kecil (nista), sedang (madya) dan besar (utama). Kurban utama di halaman terdiri dari: harimau, menjangan, banteng, kidang, bagukan. kera hitam, kerbau merah. kerbau hitam, kambing, angsa, belibis (itik liar), ayam. Pada halaman dibuat gambar Yama Raja. Yang utama binatang berkaki empat belang pada lehernya disesuaikan dengan nilai penjuru bumi. Semua itu dagingnya dicincang dijadikan lauk-pauk dan kulitnya direntangkan, dijadikan dua tamas berisi lauk daging yang dicincang, lauk karangan yang lengkap 1, sate calon masing-masing 45, sate kambing 40, sate dan adonan itik ayam masing-masing 20 sesuai dengan yang sudah-sudah. Posadi sebanyak 9 buah, sesuai dengan warna dan neptu (nilai).

Halaman 20a

Kumaligi. jangan sakawali, balung gegending (tulang lutut kaki belakang), sate sahuyung. calon sahuyung dalam panai, tumpeng 2 buah, ayam wiring (berbulu merah) dipanggang, bunga, kera hitam, nasi tamasan injin (beras hitam). Kurban/caru di bawah (sor): ikan sungai binatang sawah yang masih hidup, ayam hitam sumalulung winangun urip, nasi merah dan putih, sate calon ditempatkan sesuai dengan warna, sengkowi di kiri kanan 2, macan beserta sate 27, menjangan beserta sate 111.sajen di bawah Yama Raja pabangkit banyaknya 1, pajeg manca warna (lima warna). Mapanyeneng sesuai dengan warna, ayam 5, buda, mapagu, berisi tumpeng dengan lauk sate calon masing-masing 1, berisi sampian naga sari, sirih, uang 25 kepeng, masing-masing berisi cau renteng sesuai dengan warna, terutama urab bang dan urab putih beserta sesantun sesuai dengan neptu, bayang-bayang kerbau merah, hitam yang dipolakan seperti hidup, berisi sengkowi 2, nasi tumpeng dari beras hitam/injin, beralaskan daun biah (sejenis talas). nasi berwarna beralaskan daun talujungan, panggungan 5 berumbai-rumbai sesuai dengan warna, jawung-jawung berbentuk senjata,

Halaman 20b

sanggah cucuk banyaknya 5, berubag-abig, sesuai dengan warna. Andudu, peji, pohon pisang yang berbuah beserta jantungnya. tebu, pinang setandan, sirih sagulung, nira sebrerong. arak dan berem masing-masing setempurung kelapa, tegen-tegenan umbi-umbian dan buah-buahan, tongkat pemukul dari kayu canging. Kelima panggungan itu masing-masing berisi pabangkit satu dandanan dan gelar sanga sesuai dengan tempat/bumi diisi uang 1700 kepeng dan perlengkapannya secukupnya, peras. benang setukal, uang 227, daging kumaligi, beras terkenal di sebelas desa, 11 macam air, uang 100, benang setukal. Bersanggar tawang berpetak tiga, bersajen suci, catur berisi lingga ditempatkan di Sanggar Tawang empat dandanan, guling itik 4, lada beserta catur 3 buah. saput catur sebanyak 4 kuub.
Halaman 21a

Di panggungan di depan pendeta memuja, pada stana para Dewa masing-masing dipersembahkan sajen suci sedandanan terutama sesantun. Diiringi gambelan dan tari-tarian sakral selengkapnya. Semua para Arya bersembahyang ke hadapan Batara Nawa Sanga Pahalanya bumi Bali akan subur dan makmur tidak ada mara bahaya. Ini kurban/caru bumi. Yang memimpin/mengantar upacara: Pendeta Siwa. Buda. Sengguhu, Dukuh, Resi Sewa Soghata di dalam memuja mengantar upacara menghadapi: periuk kecil yang belum pernah dipakai 25, diikat dengan benang sesuai dengan warna. periuk besar/pangedangan 5, panai besar yang baru 5, yang kecil 10, kukusan yang baru 5, panai kecil 5, nyiru 15, kipas 6, beras tapisan 5 kantung, uang 500 kepeng, di tengah-tengah sekarura, kawangen secukupnya, tabuh-tabuhan dan tarian sakral. Selesai. Kurban caru di perbatasan desa: daging banteng yang dicincang ditaruh dengan teratur di atas 3 helai daun pepaya, sengkowi 11, nasi tamasan 2 tamas, ulam karangan 5 karang, nasi bakulan 5 bakul, nira 1 umbeh dan uang kepeng 2000, kain secukupnya, anjing bang bungkem dipolakan seperti hidup, cacahan 9 tanding, nira 1 umbeh/brerong. ayam hitam sumalulung 2 ekor, tumpeng merah dan hitam 2 buah, nasi berlauk daging pecel babi hutan, tuak setempurung kelapa ; pahalanya bahagia dan selalu berniat baik. Ini tata cara kurban/caru pada waktu bumi tidak tenteram, supaya ditaati oleh seluruh masyarakat.

Halaman 21b

Sajen Panihis mehyu di pura Besakih Dangin Kreteg, permulaannya mempersembahkan guling itik, sajen sedandanan, rantasan (kain secukupnya), beras acatu mujung (2 kilogram), itik dan ayam yang masih hidup, tegen-tegenan umbi-umbian dan buah-buahan secukupnya. Persembahan ke hadapan I Dewa Manik Mas. Lagi persembahan ke hadapan I Dewa Tirta; guling itik putih, kain putih secukupnya. sajen dandanan, panai yang masih baru, itik putih, ayam putih secukupnya untuk persembahan di Tirta. Bila persemayaman Batara yang ditihis setiap palinggih bertikar baru berkasur putih, bantal cecanden putih, maleluhur putih, pulu sebanyak 3 buah, pasukulan sebanyak 1, pasepan banyaknya 1, pabebeh banyaknya 1, bertali suntagi berhorti katemu.

Halaman 22a

Disertai pebangkit 1 pajeg adandanan. bertumpeng galahan banyaknya 20. bertumpeng talompok genap, berguling itik 1, guling babi I, babi yang dicincang 1 dibuat gelar sanga. Kerbau seekor dipola seperti hidup. kumaligi adandanan periuk yang masih baru dan panai baru, beras acatu mujung (2 kilogram) benang setukal, uang 227 sebagai isi panai, lagi uang kojong kumaligi 75. Sajen sedandanan, guling itik, mapras. selengkapnya. Selesai. Ini kurban pabalik sumpah di Penataran Agung dan di Bancingah Agung sewilayah Dalem. Diawali Dewa Alis mempersembahkan upacara permohonan ampun ke hadapan Batara dengan sesajen 11 dandanan, perinciannya sebagai berikut: guling itik I, ayam 2, ketupat satu kelan, bulayag 1 kelan, tulung nasi tandingan 11 landing menjadi satu tempat, tumpeng 5 buah, beserta peras, jati kembang, guru jambal samah,

Halaman 22b

jejaturan. sedah tubungan, tadah sukla, burat wangi, panghulap, tehenan gunjangan, rantasan, tegen-tegenan, serta itik, ayam hidup, beras dalam bakul, uang 1000, sirih dan pinang bancangan. kacang komak, sudang taluh. Ini upacara permohonan ampun yang utama. Yang sedang (madia) 9 dandanan, yang kecil (nista) 7 dandanan, yang terkecil (nistaning nista) 5 dandanan, sesuai kemampuan banyaknya 3. Ini upacara kurban permohonan ampun yang mempunyai kerja. Ini perihal Bhuta Pada bulan Juli (Kasa) Bhuta Taruna (diundang) kurbannya: anjing bang bungkem, ayam berbulu putih berkaki kuning. Kurban dilaksanakan di ujung jalan. Pada bulan Agustus (Karo), Bhuta Pitung Lek diundang, kurbannya benjit pelen, kukuluban, gangan rangin, sambal jahe, kurban dilaksanakan di pertengahan jalan. Pada bulan September (Katiga), Bhuta Pulung diundang, kurbannya: ayam berbulu merah kakinya berwarna kuning, liwet kacang, jangan kulub ranti, sambal, pelas, kurban dilaksanakan di ujung selatan jalan. Pada bulan Oktober (Kapat). Bhuta Lingga diundang, kurbannya: babi langkang gading, sambat caru, ayam putih keabuan, pupula sakadaton, kurban dilaksanakan di jalan besar.

Halaman 23a

Pada bulan Nopember (Kalima), Bhuta Bayuha diundang, kurbannya babi cunduk, liwet kacang, ukem-ukem ayam, pisang, disertai umbut diurab, sambel mayoye. sayur daun dedap yang direbus, kurban dilaksanakan di tengah-tengah. Pada bulan Desember (Kanem) Bhuta rowelas diundang, kurbannya: ayam dipanggang, serah wungkulan, wuwu lasasan, dilaksanakan di jalan ke kuburan. Pada bulan Januari (Kapitu), Bhuta Akasa diundang, kurbannya: babi belang kalung, ayam cintamani, kukumbu kacang, sambal, pelas, dilaksanakan di ujung timur jalan tanpa sanggar. Pada bulan Pebruari (Kawulu), Bhuta Kala Sakti diundang, kurbannya: ukem-ukem dibuat dari ayam hitam, liwet kacang, gedang, sinameni, sayur asam bayam, sambal lawos, pelaksanaannya di persimpangan jalan. Pada bulan Maret (Kasanga), Bhuta awang-awang diundang,

Halaman 23b

Kurbannya: anjing putih, ayam dipanggang, sayur asam bayam, sambal berisi kemiri, dilaksanakan di ujung utara. Pada bulan April (Kadasa) Batara Durga Dewi diundang, kurbannya: gumpalan daging mentah dan masak. darah 1 limas, bawang jahe, ayam panggang yang tidak dibalik (matang sebelah), liwet kacang, disertai kukutis ayam. dilaksanakan di tengah jalan dengan puja mentera. Pada bulan Mei (Jyesta) Bhuta Misali diundang, kurbannya: ikan laut, gumpalan ulam pajagalan mentah dan masak, pisang kembang wangi, sanggar bertiang satu, dilaksanakan di jalan yang di timur. Pada bulan Juni (Asada) Bhuta Durga Dewi diundang, kurbannya: ayam hitam dipolakan seperti hidup, pecal daging ayam putih. tumpeng berpuncak telur, berisi gegodoh tumpi, dilaksanakan di barat daya. Ini perihal Bhuta, kurban di Penataran Agung menurut bulan. Selesai.

Halaman 24a

Raja berhasil selama hidup, makmur semua murah. Peringatan tentang kewajiban menyerahkan hasil sawah bagi yang memegang laba pura Besakih untuk biaya pangusabayan. Pada usaba Srawana (Juli) upacara ke hadapan Pangakan Bukit: mengadu telur, babi pacah 1, pajuwit 1, untuk di panggungan guling 1. Pada usaba Bhadrawada (Agustus), upacara pemujaan ke hadapan Batara di Batan Angsoka: babi pajuwit banyaknya 1, kerbau putih I, Pada usaba Asuji (September), upacara pemujaan ke hadapan Pangakan. Manik Kentel panggungan dari semua Pemangku. Upacara pemujaan Pengakan Penyarikan, itik 1 ekor yang dikeluarkan oleh desa Takedan. Pada usaba Kartika (Oktober), upacara pemujaan ke hadapan Pangakan Panghulu. Babi dicincang I, babi kecil pajuwit 1. Pada usaba Margasira (Nopember), manelahin mabuluh, babi dicincang 1.

Halaman 24b

Pada usaba Posya (Desember), Bhatara Turun Kabeh: 39 babi pinudhukan dicincang 2, pajuwit 1, babi guling 1, kerbau hitam 1. Pada saat bulan gelap (Tilem) upacara di Melmanyema, babi dicincang 2, babi guling 1, patabwan, daging babi seharga 100,daging banteng, kambing. Pada usaba Magha (Januari), upacara pemujaan Pangakan Ratu Kidul: menjamu penjudi, babi yang dicincang 1, guling 1 sebagai isi panggungan. Panggungan dari desa. Pada usaba Palguna upacara pemujaan Pangakan Pasek: babi dicincang I, itik dikeluarkan oleh desa Takedan, babi guling 1. Pada usaba Cetra (Pebruari) upacara pemujaan Pangakan Panulisan: pajuwit itik 1, nasi takilan yang dikeluarkan oleh desa Takedan. Pada usaba Waisaka (Maret) upacara Batara Turun Kabeh: pinudukan babi yang dicincang 1, pabulalangan 1, kerbau hitam persembahan Dalem 3 ekor, kerbau putih 2 ekor. Pada Sugihmanik upacara pemujaan Pangakan Maospahit, babi 1.

Halaman 25a

Pada Panampahan Galungan upacara pemujaan Pangakan Menek Kangin: babi I. Di Cambah babi 2. Pemujaan khusus para Dewa pada hari, Selasa Kliwon, Rabu Kliwon, Sabtu Keliwon dan tamu desa dari luar desa dan utusan Dalem, utusan para Gusti dan semua penguasa desa yang datang menerima suguhan. Dan bila malis ke sungai, babi pabhidukan dicincang 1, kerbau hitam 2, kerbau putih 1 dikuliti, babi 1. Peringatan untuk masyarakat desa yang berkewajiban mengusung usungan Dewa. Banjar Penataran berkewajiban mengusung 2 yaitu: Pangakan Atu dan Pangakan Manik Makentel. Banjar Watumadeg 2 yaitu: Pangakan Watumadeg dan Pangakan Manik Api. Masyarakat Padang Bujuh 2 yaitu: Pangakan Bagus Botoh dan Pangakan Manik Bungkah. Masyarakat Kayu Selem 1 yaitu ; Pangakan Buncing. Banjar Dangin Kreteg 3 yaitu: semua Dewa di Dangin Kreteg. Banjar Basukihan I yaitu: Pangakan Bagus Wisesa. Masyarakat Kumukus 1 yaitu: Pangakan Basukihan.

Halaman 25b

Banjar Banwa 2 yaitu: Pangeran Tegal Besung dan Pangeran Dimade. Banjar Kelod I yaitu: Pangakan di Batur. Banjar Nangka 3 yaitu: Pangakan Panganten, Pangakan Watu Enggong, Pangakan Manginte. Banjar Galihyang 2 yaitu: Pangakan Anyar, Sang Hyang Penataran. Masyarakat Badheg 1 yaitu: Pangakan Maospahit. Masyarakat Sasana I yaitu: Pangakan Bekung. Masyarakat Watusesa I yaitu: Pangakan Swarga. Masyarakat Pangakan Den Bancingah 2 yaitu: Pangakan Bakas dan Pangakan Tambesi. Dan bila para Dewa diusung ke luar, masyarakat desa dan banjar yang tidak mengusung usungan Dewa, dikenakan denda 20.000 bila tanpa ijin dan didenda 5.500 kalau minta ijin. Dan bila ada masyarakat yang terlambat mengusung usungan Dewa dan sudah melewati batas desa, masyarakat yang demikian itu didenda sebanyak 1000 kepeng. Akan tetapi denda yang sebesar 1000 kepeng itu harus dibayar pada hari itu juga.

Halaman 26a

Dan apabila Batara sedang diiring bercengkrama lalu ditinggalkan pulang ke desanya oleh yang mengusung Dewa itu, mereka yang demikian itu ' didenda sebanyak 1000 kepeng. Dan babi pabidhukan dagingnya dibagi tiga, sepertiga untuk beliau yang di timur dan dua pertiga untuk desa. Jumlah persembahan masyarakat desa Yeh Bias ke hadapan Batara di Besakih pada usaba Waisaka ;babi besar 1 seharga 3000 kepeng, beras 40 catu, babi\ panggang 1 dan barang bawaan lainnya sesuai dengan kewajiban yang sudah-sudah. Jumlah beras dari Selat pada waktu usaba Posya; 40 catu, babi 1, beras itu dibagi tiga. Sepertiga untuk beliau yang di timur, untuk desa Besakih sepertiga dan untuk Pemangku Dangin Kreteg sepertiga. Dan daging babi dibagi enam dibagikan kepada semua Pemangku. Untuk bahu sebanyak 2 bagian di Bahan, juru pembawa perintah (juru arah) 2 bagian, beliau yang di timur 1 bagian dan sebagian lagi untuk Pemangku Dangin Kreteg dan masyarakat Selat, juga untuk banjar Dangin Kreteg.

Halaman 26b

Peringatan pemberian kepada desa Tusan: bawang 6 tigeh, belandingan 20 ikat, gaplek 20 catu bertempat dalam bakul baru 2 buah, yang dikeluarkan oleh orang-orang Galihyang. Desa Nangka mengeluarkan gula 2 toros, desa Kamukus mengeluarkan dasun dua tenah, masyarakat Besakih, junggul sebanyak 2 pikul, Yang dikeluarkan oleh Desa Tusan. Kalau malis ke laut, kerbau hitam I, babi kecil 1, itik 1, ayam 10, beras 200 catu. Bila Dewa malis ke sungai: kerbau hitam 1, babi kecil 5, itik 5, ayam 10, beras 100 catu. Semua yang dikeluarkan oleh Desa Tusan, pimpinan masyarakat bagian Timur desa Tusan, guling I, pajuwit 1, tumpeng itik 1, tumpeng ayam 4, guru 1, pulut 1 catu, kain seperangkat.

Halaman 27a

Tambahan yang dikeluarkan desa Tusan: tumpeng guling 2, tumpeng itik 1, tumpeng ayam 2. ketupat 12, telur 2, babi guling 1, pajuwit, kue kukus pulut dan injin, pisang kembang. Itik dan ayam dikeluarkan dari desa Takedan. Beras dipakai macacaya yang dikeluarkan oleh masyarakat desa Tusan, juga babi, itik dan ayam. Bila Dewa malis ke Tusan: babi guling 1, babi pajuwit, ini dari Desa Tusan. Jika usaba malis ke sungai: pajuwit itik 7, yang berkewajiban membuat panggungan di Penataran bila usaba dane Dauh Patandakan 2 buah serta panggungan untuk menyongsong Batara. I Dewa Manik Makentel oleh Desa Geriana, I Dewa Lod Peken oleh Sedahan Badung, I Dewa Maospahit oleh Sedahan Pikandel.

Halaman 27b

I Dewa Atu oleh Sedahan Ler, I Dewa Bagus Wisesa oleh Sedahan Subagan, I Dewa Bukit oleh Sedahan Beji, di Batumadeg oleh Sedahan Pesaren, Mi Sedahan Tastasan, Ni Sedahan Taran. Di Dangin Kreteg oleh Sedahan Pikandel. Peringatan tentang ketentuan masyarakat desa Kawubakal, Sasana, Nyanggelan untuk mempersembahkan apa yang menjadi kewajibannya ke Besakih. Sepatutnya taat. Jika tidak taat kepada bunyi piagam dikenakan denda sebesar 1600. Hari kedelapan rah 0, tenggek 6. Peringatan bagi yang mempunyai tugas mengatapi balai pendopo di Penataran, bagian atas yang sebelah timur, banjar Basukihan, di bawahnya banjar Nangka, di atas bagian utara, banjar Watumadeg, di bawahnya banjar Penataran. Di atas bagian barat banjar Galihyang, di bawahnya banjar Dangin Kreteg, di atas bagian selatan banjar Kelod, di bawahnya banjar Banwa.

Halaman 28a

Pajak persembahan dari banjar Galihyang: uang 1000, bawang 10 tigeh, gaplek 10 catu, paketus, sayur-sayuran dari nangka, abutan bawang dari Badheg 7 ikat. Peringatan pada waktu Dewa turun Kajeng; patut berkumpul hari itu. Pada hari Pasah dipersembahkan sajen di Penataran. Sekarang diingatkan bila Dewa malis. Sesudah daharan, Dewa ke Keren esok harinya wawayon di Watumadeg, esok harinya di Menek kangin, lalu bersuci dan terus naik, esok harinya di Panganten. Peringatan untuk orang yang mengadu ayam pada usaba Srawana (Juli) ialah orang yang sudah bersuami istri, orang-orang Nangka, Cabulik. Pada usaba Magha semua yang senang mengadu ayam. ayam aduannya siap di tempat arena. Pada Sugihmanik para penghulu yang mengadu ayam. Pada Penampahan Galungan upacara ngebekin di Dangin Kreteg. Pada usaba Waisaka dan usaba Posya putaran mengadu ayam aduan wajib, dan yang keluar bahan-bahan yang diperlukan di Keren: Kawubakal; Nyanggelan, masyarakat desa Sesana keluar nasi 10,

Halaman 28b

tuak satu pikulan dipakai untuk macacaya di Keren. Dagingnya daging kerbau yos brana, dipakai untuk memulai pekerjaan. Masyarakat Nyanggelan lagi keluar beras 20 catu, janur 100 muncuk. Masyarakat Panida keluar babi seharga 2000 kepeng untuk persiapan. beras 20 catu. diterimakan kepada Jero Kebayan.

Selesai


SUMBER : babadbali.com
Selengkapnya.....

Powered by IP Address Locator