8.4.10

Memuja Leluhur

Editorial Putu Setia

Bagaimanakah para leluhur kita di masa lalu mengajarkan masalah moral, budi pekerti, keyakinan agama, dan ritual-ritual yang ada? Apakah mereka memberikan dharma wacana sambil mengutip buku-buku suci? Mungkin tidak, teknik penyampaiannya pasti sederhana dengan cara bercerita.

Sekarang, guru atau tokoh agama mengutip kitab-kitab suci da­lam melakukan dharma wacana. Maklum, pendengarnya juga kri­tis, semua hal yang bersifat anjuran, pantangan, dan seba­gainya, selalu dimintai rujukannya di kitab suci. Begitu pula pen­dharma wacana, sebentar-sebentar mengutip sloka suci su­paya kelihatan lebih keren.

Orang-orang di desa begitu polos menjalankan ritual agama dan juga memaknai kehidupan beragama. Kalau ada piodalan di pu­ra, mereka datang tanpa rumit memikirkan apakah yang akan mere­ka puja di pura itu leluhur atau dewa atau Hyang Widhi. Isti­lah bethara, dewa, dan Tuhan masih rancu di kalangan orang-orang yang polos itu. Banyak sekali umat Hindu di pedesaan tak tahu dan tak perlu tahu apa beda bethara, dewa dan Tuhan. Ka­lau piodalan di pura ada orang yang kerauhan (trance) dan orang yang kerauhan itu menyebutkan kelinggihan Ida Bethara ter­tentu, umat sulit menjelaskan siapa Ida Bethara tertentu itu. Ka­lau ada yang bertanya apakah Ida Bethara itu Tuhan, mereka dengan mudah saja menjawab: ya. Bahkan orang kerauhan Butha pun juga disebut Tuhan. Jadi, begitu banyak Tuhan.

Ini yang sering sekali membuat orang non-Hindu bingung, ka­lau jawabannya seperti itu kenapa agama Hindu masih tegas me­nyatakan Tuhan itu Esa? Kenapa Hindu masih menyebut aga­ma monotheisme? Tak heran kalau beberapa buku sejarah dan sosial menyebutkan Tuhan umat Hindu itu ada banyak.

Di banyak desa di Bali, pemujaan kepada leluhur menda­pat­kan tempat yang utama. Barangkali warga di sini tak perlu rumit dan ruwet mendefinisikan soal leluhur itu. Bagi mereka memuja le­luhur sudah cukup untuk membuktikan bahwa mereka men­jalankan ritual agama, tentu saja agama Hindu. Dengan hanya me­mu­ja leluhur, mereka tetap yakin sebagai bagian yang sah dari orang Bali, dan juga tidak ragu untuk menyebutkan agama mere­ka, yakni Hindu.

Salahkah mereka yang hanya memuja leluhur? Perlukah kita men­cibir mereka sebagai “terbelakang” atau “kurang paham ajar­an agama” atau sebutan lainnya, yang mengesankan seolah-olah kita lebih tahu masalah agama dibandingkan mereka? Jangan cepat-cepat melontarkan tuduhan seperti itu. Tradisi yang mereka peli­hara dan mereka pertahankan itu pastilah dulunya ditanamkan dengan penuh keyakinan oleh leluhur mereka yang paham soal aga­ma.

Kitab suci Bhagawadgita, pada sloka VII-21 mengatakan, “apa­pun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut aga­ma, Aku perlakukan kepercayaan mereka sama supaya tetap te­guh dan sejahtra”. Sloka ini adalah kelanjutan dari penjelasan bagai­mana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewa­ta. Di sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pe­mujaan itu hasilnya sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).

Pada sloka IX-25 disebutkan. “Yang memuja dewata pergi ke­pada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja leluhur me­reka, dan kepada roh alam perginya yang memuja roh alam, te­tapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”

Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, mau­pun roh suci yang ada di alam, semuanya mendapatkan paha­la. Semuanya bisa dibenarkan, namun Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang terbaik.

“Yang terbaik” tidak harus diartikan itulah jalan satu-satunya. Apalagi diartikan itu jalan yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dalam kepercayaan Hindu, seseorang yang te­lah meninggal dunia, rohnya (atman) menyatu dengan Tuhan. Bu­kan seperti kepercayaan agama lain, “berada di sisi Tuhan”. Ka­rena roh atau atman menyatu dengan Tuhan, mereka yang me­muja leluhur otomatis memuja Tuhan juga. Ibarat pepatah, sam­bil berenang minum air, sambil memuja leluhur, kita memuja Tuhan.

Dengan pemahaman seperti ini, tradisi pemujaan kepada leluhur bukanlah sesuatu yang salah. Yang penting adalah kita ta­hu di mana posisi kita berada dalam melakukan pemujaan, apa­kah itu kepada leluhur (bethara), dewa, atau Tuhan. Leluhur me­nyatu dengan Tuhan, dewa adalah sinar sucinya Tuhan, jadi se­sungguhnya obyek yang dipuja sama saja.

Masalahnya adalah apakah “memuja leluhur” lewat pe­rantaraan balian, dasaran, tapakan, atau apapun namanya, ju­ga termasuk dalam jalur “pemujaan kepada Tuhan?” Ini yang per­lu diwaspadai. Dengan segala hormat saya kepada mereka yang mempercayai balian, dasaran, tapakan dan sebagainya ini, saya berpendapat ini sudah di luar konteks. Bahkan di luar dari makna sloka Bhagawad Gita yang saya kutip di atas.

Kita tidak tahu, sejauh mana tingkat kerohanian dan tingkat spiri­tual mereka yang disebut balian, dasaran, tapakan itu. Kita sulit membuktikan apakah omongan mereka, meski pun sete­lah dinyatakan kerauhan, bisa dipegang untuk dijadikan pe­doman. Misalnya, ada tradisi, ketika baru punya anak, menanya­kan langsung ke balian (ada menyebutnya nunasang ke baas pipis) siapa yang numadi (reinkarnasi). Balian pasti men­yebutkan tak jauh-jauh, mungkin kakeknya, eyangnya, ne­neknya, atau siapa pun yang sudah meninggal dunia. Dengan mem­percayai hal ini, keluarga itu akan mematut-matutkan anak yang baru lahir itu dengan sifat orang yang numadi. Ini ber­bahaya karena karakter anak akan terpengaruh oleh apa yang su­dah diyakini oleh keluarga itu. Jadi, mari kita rasional termasuk jangan terlalu percaya kalau leluhur sering memberi kutukan atau leluhur suka minta macam-macam.

Sumber : WWW.HINDU-RADITYA.NET

0 comments:

Powered by IP Address Locator